Diskusi Buku “Perempuan dan Literasi Digital” Seri 2

Yogyakarta, 16 Juli 2021─Departemen Ilmu Komunikasi UGM melangsungkan serial kedua Diskusi Buku “Perempuan dan Literasi Digital” pada Jumat (16/7). Topik yang diangkat adalah “Perempuan dalam Revolusi Digital: Dimensi Pengetahuan dan Kompetensi Digital”. Pada kesempatan ini, Dikom menghadirkan pembahas Jackelin Lotulung, Dosen Ilmu Komunikasi Unsrat Manado sekaligus anggota JAPELIDI. Serta, ketiga pembicara sebagai penulis yang merupakan dosen Ilmu Komunikasi UGM, yakni Zainuddin Muda Z. Monggilo, Syifa Tania, dan Dewa Ayu Diah Angendari. Acara berlangsung melalui Zoom Meeting dan Live Streaming di channel Youtube Departemen Ilmu Komunikasi UGM.

Berangkat dari keresahan tentang perempuan yang semakin terlihat seperti objek dalam literasi digital, Zainuddin Muda menulis bagian yang berjudul “Perempuan Indonesia dalam Pusaran Hoaks dan Ujaran Kebencian”. Dalam tulisan tersebut, ia memaparkan tiga kasus, yakni penyebaran hoaks oleh Ratna Sarumpaet, ujaran kebencian oleh Veronica Koman tentang Papua, dan tiga istri anggota TNI yang berujar kebencian dalam kontestasi politik. Namun, Zainuddin Muda atau yang akrab dipanggil Zam, yakin masih banyak perempuan di luar sana yang menjadi pegiat literasi digital, tidak hanya sebagai objek atau pun penyebar hoaks.

“Kalau kita gali lebih dalam, saya yakin lebih banyak perempuan di luar sana yang mungkin belum terekspos oleh media bahwa mereka telah melakukan kegiatan-kegiatan literasi digital yang konsisten untuk memberantas hoaks dan ujaran kebencian,” ungkapnya.

Sementara, Syifa Tania menulis bagian yang berjudul “Women Social Media Influencer, Literasi Periklanan dalam Praktek Periklanan Digital”. Ia memberikan ulasan tentang peran perempuan dalam konteks komunikasi pemasaran digital. Praktik komunikasi pemasaran terpadu yang saat ini menjadi lebih horizontal dipengaruhi oleh kehadiran media sosial yang awalnya hanya menjadi media jejaring, namun dalam perkembangannya menjadi sebuah media komunikasi pemasaran yang semakin subtle. Dalam hal ini, perempuan memiliki porsi yang besar sebagai influencer. Namun pada prinsipnya, gagasan tersebut bermuara pada konsep literasi periklanan.

“Dalam ekosistem literasi media ada satu konsep yang perlu kita perhatikan, yaitu literasi periklanan tentang ability bukan hanya kita menjadi sosok yang media capable tetapi juga media literate,” ujar Tania.

Terakhir, tulisan berjudul “Adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi oleh Perempuan di Pedesaan: Studi Kasus Pengguna Peer to Peer Lending Berbasis Teknologi Finansial” yang ditulis oleh Dewa Ayu Diah, merupakan bagian dari riset kerjasama antara CfDS dan Amarta. Berangkat dari keresahan adanya digital divide di indonesia, penulis ingin melihat bagaimana adopsi teknologi informasi dan komunikasi antara lender dan borrower. Hasilnya, didapati bahwa hanya sedikit dari para perempuan yang menggunakan Amarta sudah mampu mengadopsi TIK. 

“Tulisan ini melihat faktor-faktor apa saja yang memengaruhi adopsi teknologi dan apa yang bisa dilakukan baik oleh platform atau stakeholders lain dalam meningkatkan adopsi teknologi bagi para perempuan ini,” kata Diah.

Berhubungan dengan isi buku tersebut, Jackelin Lotulung memberikan refleksi bagaimana perspektif perempuan dan literasi digital. Menurutnya, adanya gap adopsi TIK disebabkan karena perempuan di pedesaan mengalami kesenjangan dalam pendidikan dan pengetahuan, termasuk ketika dikaitkan dengan literasi digital. (/Wfr)