Diskusi Bulanan Komako: Berpendapat di Media Sosial, Bebas atau Terbatas?

Yogyakarta, 13 Agustus 2020—Pada bulan Juni, muncul kasus tuduhan penggunaan sabu yang menyerang komedian Bintang Emon setelah menyampaikan kritik di media sosial tentang tuntutan jaksa dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun bersifat user generated content, berpendapat di media sosial tidak sepenuhya bebas dan terikat pada batasan atau pengawasan tertentu.

Isu ini dibahas dalam Diskusi Bulanan Korps Mahasiswa Komunikasi (Komako) UGM yang menghadirkan dua pembicara, yaitu Mashita Fandia selaku dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM dan Unggul Sagena selaku Kepala Divisi Akses Informasi SAFEnet (12/08). Diskusi bertajuk “Media Sosial: Penampung Aspirasi/Bumerang Aspirasi?” ini membahas batasan-batasan yang muncul di media sosial serta panduan bermedia sosial dengan aman.

Mashita menjelaskan bahwa risetnya selama dua tahun terakhir mengenai interaksi kaum muda dengan media sosial menunjukkan hampir seluruh informan pada awalnya memiliki mindset media sosial menawarkan kebebasan berkespresi secara penuh tanpa ada batasan. Ternyata, beberapa pembatasan muncul ketika menggunakan media sosial, baik disadari maupun tidak. Pembatasan di media sosial berupa pengawasan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh sesama pengguna media sosial.

“Salah satu wujudnya adalah ketika orang ingin mengunggah post di Instagram dan banyak pertimbangan, misalnya penilaian orang lain. Atau ketika orang memilih-milih platform, misalnya Twitter untuk mengkritik sementara Instagram untuk senang-senang saja. Tanpa disadari, hal tersebut menunjukkan adanya standar yang membatasi kita di media sosial,” kata Mashita.

Terkait persoalan hukum, Mashita menyampaikan bahwa kenyataannya teknologi selalu lebih cepat daripada regulasi yang mengatur. Misalnya, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia masih problematis, padahal perkembangan teknologi dan media sudah semakin pesat. Selain itu, aparat penegak hukum di Indonesia memiliki penerjemahan yang berbeda-beda tentang penegakan dan implementasi UU tersebut. Hal tersebut masih menjadi permasalahan terkait kebebasan dan batasan dalam bermedia sosial.

Berkaitan dengan hal tersebut, Unggul menyampaikan bahwa beberapa pasal UU ITE memang multitafsir atau sering disalahgunakan. Beberapa di antaranya adalah UU ITE Pasal 27 Ayat 1 tentang pelanggaran kesusilaan dan Ayat 3 tentang pencemaran nama baik, serta Pasal 28 Ayat 1 tentang berita bohong dan Ayat 2 tentang kebencian dan permusuhan. Keempat pasal yang sering disebut “pasal karet” ini dikhawatirkan bisa  mendorong praktik persekusi, doxing atau persebarluasan informasi pribadi kepada publik, pembungkaman, serta mengganggu kebebasan berkespresi di media sosial.

Salah satu harapan agar pengguna merasa aman atas hak kebebasan berpendapat di media sosial memang melalui revisi atau peraturan turunan UU ITE yang lebih jelas, misalnya memaparkan indikator pencemaran nama baik atau kebencian itu sejauh mana. Akan tetapi, perlu diingat bahwa masalah perundang-undangan di Indonesia itu cukup kompleks. Butuh waktu lama untuk mewujudkan peraturan tersebut, terlebih masih banyak rancangan lainnya yang menunggu untuk diproses dan disahkan.

Oleh karena itu, Unggul memaparkan beberapa panduan yang bisa diterapkan oleh para pengguna media sosial. Pada dasarnya, kendali atau kontrol di media sosial terdiri atas empat tahap. Pertama adalah kendali pengaturan sistem, misalnya mengatur akun agar bisa diakses publik/privat. Selain itu, pengguna juga harus mengendalikan interaksi, misalnya menentukan teman, melakukan unfollow, blokir, hingga istirahat menggunakan media sosial apabila dirasa sudah tidak menyehatkan.

Kedua, yaitu kendali oleh pengguna melalui literasi yang meliputi etika dan kebersihan digital. Literasi digital dimulai dari bagaimana kita mampu memahami isi konten, menganalisis, serta menyeleksi konten-konten yang bisa kita bagikan. Ketiga adalah kendali penyedia platform yang bisa melakukan takedown konten atau menentukan batasan umur. Apabila pengguna sudah bisa menyesuaikan dengan ketiga kendali tersebut, maka harapannya tidak akan ada masalah dengan kendali keempat, yaitu undang-undang atau regulasi.

Mashita juga menambahkan bahwa pengaruh media sosial semuanya berada di bawah kendali diri sendiri. Saring pendapat kita dan ketika menemukan pendapat yang berlawanan di media sosial, kita bisa bijak untuk tidak langsung menghakimi. Hal ini justru bisa memantik kita untuk berpikir mengapa ada pemahaman yang berlainan dan membuka ruang diskusi bersama.

Unggul menyatakan bahwa berekspresi di media sosial tentu tidak salah, mengingat kemerdekaan mengeluarkan pendapat juga sudah diatur dalam UUD 1945 Pasal 28E. Selain itu, media sosial juga bisa berguna untuk memviralkan kasus yang mungkin belum ditindaklanjuti oleh pihak tertentu, asal didukung oleh data atau pengalaman yang valid. Hanya saja, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pengguna, yaitu membedakan ruang publik dan privat, memahami hak dan kewajiban, memahami perlindungan privasi, mengetahui konsep informasi, serta tetap memahami budaya dan etika. Jangan sampai media sosial justru menyebabkan warisan-warisan Indonesia seperti musyawarah atau keramahtamahan semakin memudar. (/Raf)