Diskusi Bulanan SOREC: Berbicara tentang Kemunculan Hoaks COVID-19 dan Langkah Verifikasi Informasi

Yogyakarta, 23 Juli 2021─Social Research Center (SOREC), pusat kajian di bawah Departemen Sosiologi FISIPOL UGM, menggelar diskusi bulanan bertajuk “Algoritma, Teori Konspirasi dan Data: Gelombang Dua COVID-19 di Indonesia” pada Jumat (23/7). Pada kesempatan ini, SOREC mengundang dua pembicara, yakni Nenden S. Arum, relawan SAFEnet dan Derajad S. Widhyharto, M.Si, dosen Departemen Sosiologi UGM. Acara berlangsung melalui Zoom Meeting pada 15.30-17.30 WIB, dengan dimoderatori oleh Odam Asdi A., M.A., peneliti SOREC.

Hoaks dan misinformasi tentang COVID-19 berpengaruh terhadap tingkat penyebaran COVID-19 di Indonesia. Salah satu teori konspirasi yang menyatakan bahwa COVID-19 merupakan buatan elite global menyebabkan beberapa di antaranya tidak mempercayai adanya COVID-19 sehingga berimplikasi pada keterlambatan penanganan ketika mereka terkena COVID-19. Di samping itu, hoaks tentang COVID-19 juga digunakan untuk merepresi pihak yang kritis terhadap kebijakan pemerintah terkait penanganan COVID-19.

Dalam diskusinya, Nenden menjelaskan tentang bagaimana kita harus meminimalisasi penyebaran berita bohong. Ketika menerima informasi, kita diharuskan melakukan verifikasi informasi untuk menghindari hoaks. Terdapat lima prinsip dalam melakukan verifikasi, yakni provenance (apakah ini adalah konten yg original), source (siapa yg membuat konten ini), date (kapan konten ini diproduksi), location (dimana konten ini diciptakan), dan motivation (mengapa konten ini dibuat). Namun, cara tersebut mungkin saja dinilai ribet karena masih manual. Oleh karena itu, kita juga dapat menggunakan tools pada beberapa platform dan media untuk mengecek kebenaran berita, di antaranya cekfakta.com, cek fakta di tirto.id, cek fakta tempo.co, dan turnbackhoax.id.

“Proses-proses verifikasi tadi yang lima langkah itu sudah dilakukan oleh jurnalis sebetulnya, jadi sekarang kalau teman-teman mendapat informasi itu gampang, tinggal cari di cekfakta.com, nanti muncul apakah ini misinformasi, disinformasi ataukah hal lain yang terkait informasi yang kita cari,” ucap Nenden.

Sementara, data platform terbanyak terkait dengan penyebaran hoaks yaitu Facebook, aplikasi pesan singkat, Instagram, Youtube, dan Twitter. Dalam hal ini, Derajad menerangkan bahwa terjadi kapitalisasi yang luar biasa melalui medium digital sebagai faktor kemunculan hoaks. Perkembangan media sosial saat ini telah mencakup segala lini kehidupan. Menariknya, platform tersebut tidak hanya menyuguhkan sesuatu yang gratis, tetapi juga berimplikasi pada bentuk-bentuk perdagangan atau upaya menjadikan platform menjadi medium kapital.

“Memang kalau bisa kita akui bahwa sekarang zaman sudah berubah, bahwa ketersediaan platform itu ternyata berimplikasi pada bentuk-bentuk barter dan sebagainya. Ini menegaskan bahwa mereka mengambil untung dalam proses ini, itu yang harus kita sadari bahwa ini elemen paling basic bagaimana kita memahami mengapa hoaks itu muncul,” kata Derajad. (/Wfr)