Yogyakarta, 3 Oktober 2024—Dinamika politik saat ini tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi, termasuk Artificial Intelligence (AI). Center for Digital Society (CfDS) mengangkat isu ini dalam Digital Society Week 2024 hari ke-3 pada Kamis (3/9). Melalui empat diskusi panel, CfDS bersama beberapa pakar menyorot fenomena-fenomena AI yang terjadi di dunia politik serta potensinya untuk meningkatkan transparansi dan mendukung demokrasi.
Pada panel pertama bertajuk “Reformasi Parlemen Indonesia”, Doni Andika Pradana, CfDS Scholarship Awardee menjelaskan bagaimana AI dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam parlemen. Selama ini proses politik seperti pembentukan parlemen dan kebijakan cenderung tertutup dan jauh dari pandangan masyarakat. Hanya sebagian kecil masyarakat yang bisa memahami bagaimana dinamika politik berjalan. Padahal keberadaan parlemen pada dasarnya diperuntukkan guna menyalurkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
“Selama ini aspirasi masyarakat tersalurkan secara birokratis. Mungkin bagi organisasi sipil mereka lebih kuat karena terlembaga, tapi bagi masyarakat yang individu begitu sulit untuk menyampaikan. Media sosial saat ini memang terbuka, tapi tidak menjamin aspirasi itu bisa didengar,” tutur Doni. Potensi AI dalam meningkatkan partisipasi publik dapat diimplementasikan dalam sebuah sistem interface atau website interaktif. Sistem tersebut tidak hanya diharapkan mampu memberikan pelayanan, namun juga menumbuhkan literasi politik masyarakat.
Meskipun begitu, penggunaan AI dalam keterbukaan parlemen juga menghadapi banyak tantangan. AI yang membutuhkan begitu banyak data tidak bisa menjamin keamanan dan tanggung jawab dalam menggunakan data-data tersebut. “Tentunya ada tantangan etis, karena AI ini menggunakan big data. Nah, apakah big data ini bisa digunakan secara baik oleh pengelolanya itu menjadi suatu tantangan,” tambah Doni. Begitupun dengan keterbatasan akses AI itu sendiri, di mana tidak seluruh lapisan masyarakat mampu mengakses dan mengoperasikan layanan tersebut.
Dalam hal meningkatkan partisipasi publik, tantangan AI dalam politik juga muncul pada kontestasi Pemilu 2024. Riset CfDS yang menunjukkan, AI dapat memperkuat sekaligus melemahkan kepercayaan publik terhadap pemilu. Media sosial dan generative AI misalnya, kedua hal ini terbukti mampu memanipulasi publik dan menyebarkan hoaks pada Pemilu 2024 lalu. Dampak tersebut dapat dilihat khususnya pada generasi muda. Ketiga calon presiden dan wakil presiden gencar memanfaatkan media sosial untuk menggaet suara dari kelompok muda.
“Ketiga kandidat sama-sama menggunakan media sosial dan generative AI untuk berkomunikasi dengan anak-anak muda. Dampaknya ternyata mereka cukup ter-influence dengan strategi tersebut,” jelan Karim. Ia menambahkan, kelompok muda memiliki konteks yang lebih luas dalam hal partisipasi politik. Sayangnya, ketiga kandidat kala itu gagal dalam mendefinisikan bagaimana posisi kelompok muda sebenarnya. Mereka menyamaratakan seluruh gen z berdasarkan perilakunya, dan hanya digunakan sebatas penyalur suara bagi kandidat.
Tantangan dalam AI juga muncul dari kemampuan AI itu sendiri. Walaupun AI terbukti mampu mempermudah segala proses pengolahan data, pembuatan produk digital, bahkan efisiensi kerja digital, kemampuan AI tetap terbatas. Pada panel tiga dan empat, dijelaskan bagaimana AI masih bias dalam mendefinisikan gender dan bagaimana etika serta tanggung jawab penggunaan AI masih menjadi persoalan. Masalah ini bisa dimunculkan dari dua hal, yakni data yang diolah oleh AI tersebut pada dasarnya bias, dan kemampuan AI memproses data.
Digital Society Week 2024 oleg CfDS Fisipol UGM memberikan wadah bagi akademisi dan masyarakat untuk mendiskusikan pengaruh teknologi terhadap kehidupan masyarakat. Perkembangan teknologi tidak bisa diperkirakan batasnya, namun kesiapan masyarakat menghadapinya harus terus diupayakan. Kegiatan ini sekaligus mendukung Sustainable Development Goals ke-4, yaitu Pendidikan Berkualitas. (/tsy)