Minggu kedua di bulan Maret, Klub MKP (Manajemen dan Kebijakan Publik) kembali mengadakan diskusi di pojok lobby MAP UGM. Pada diskusi kali ini, menghadirkan pembicara Francis Wahono, Ph.D. selaku Direktur Cindelaras (Centre of Integrated Development and Rural Studies) dengan topik “Gejolak Harga Beras dan Ekonomi Politik Pangan”. Topik kemudian lebih difokuskan kepada harapan mengenai desentralisasi pangan, termasuk didalamnya adalah beras dari sudut ekonomi kerakyatan baru.
Diskusi diawali dengan membahas belum sinkronnya data jumlah beras, ada banyak versi data sedangkan data di BPS adalah data tahun lalu. Padahal bila menggunakan kecanggihan teknologi komunikasi saat ini seperti media sosial yang telah berkembang pesat saat ini tentu data jumlah beras dapat lebih mudah dipantau. Hal ini menjadi kendali berkaitan dengan penyelenggaraan kebijakan pangan di Indonesia.
Kendala lain berasal dari sistem birokrasi di Indonesia dimana programnya masih bersifat sentralistik karena telah menjadi kultur birokrasi di Indonesia. Pemusatan terjadi di mana-mana terutama di tingkat kabupaten. Sistem birokrasi seperti ini sedikit banyak dipengaruhi oleh politik budgeting yang egoistik karena setiap kelembagaan memiliki program masing-masing dengan mengajukan budget masing-masing pula namun belum tentu terintegrasi berbeda dengan Australia dan Thailand yang sudah terintegrasi kebijakan pangannya.
Selama ini kebijakan pangan di Indonesia lebih condong pada kebijakan beras sehingga perlu mengimpor beras. Kebijakan impor beras sejatinya adalah ironi bagi negara agraris. Padahal makanan pokok di Indonesia tidak selalu beras, masih banyak makanan pokok lainnya seperti sagu, ketela, jagung yang masih perlu dikembangkan lagi pengolahan dan pengelolaannya.
Akhir diskusi, desentralisasi pangan bermaksud mengembalikan fungsi pangan untuk kemaslahatan manusia dimana kontrolnya dipegang oleh yang memproduksi dan makan sendiri sehingga tidak dijadikan alat menguasai. Ekonomi kerakyatan baru merupakan sistem ekonomi “dari, oleh, dan untuk rakyat” dengan menggunakan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan bukan penindas rakyat. Marilah mulai dari yang kita bisa dengan memanfaatkan lahan pekarangan kita untuk ditanami tanaman pangan.