Menurut Sarinah, isu PHK massal pada dasarnya merupakan isu tahunan yang biasa muncul pada saat isu kenaikan upah digaungkan. Namun, pada masa pandemi, fenomena PHK massal menjadi tidak didasarkan pada isu kenaikan upah. Keberadaan pandemi kemudian menjadi sebab utama PHK massal, meskipun memang sebelumnya sudah ada industri yang melakukan pergantian pekerja tiap tahunnya.
Namun, lebih lanjut, fenomena PHK massal pada masa pandemi ini merupakan suatu persoalan yang kompleks, sebab sudah tercampur berbagai faktor di dalamnya. Ada keinginan pengusaha untuk mengganti sistem ketenagakerjaan dengan yang lebih fleksibel. Oleh sebab itu, menurut Sarinah, jika suatu saat Indonesia sudah mulai menjalani fase pemulihan, belum tentu seluruh pekerja yang mengalami PHK massal pada masa pandemi lah yang akan kembali dipanggil untuk bekerja.
Setelah mengalami PHK massal, para buruh mengambil solusi yang paling praktis itu pulang kampung. Sebab, di kebanyakan daerah industri, tidak ada sistem yang bisa mengurus kehidupan mereka. Untuk itu, pengorganisasian diri di antara kalangan buruh sangat diperlukan, ungkap Sarinah. Agar ada sistem yang dapat membantu para pekerja dan buruh, butuh orang-orang yang mau mengubahnya.
Sementara itu, Bhima lebih melihat fenomena PHK massal ini dari konteks sosial ekonomi. Berbeda dengan Sarinah, Bhima justru melihat pandemi COVID-19 hanya menjadi salah satu faktor PHK massal, tetapi bukan faktor utama. Ia melihat ini dari beberapa perusahaan yang ‘anomali’ melakukan PHK. Sehingga, bisa jadi sebelum pandemi, beberapa perusahaan memang sudah mewacanakan PHK. Dan karena pandemi COVID-19 terjadi, maka hal tersebut dijadikan alasan dan pembenaran oleh perusahaan untuk melakukan PHK pada karyawannya.
Selain itu, Bhima juga melihat adanya moral hazard di beberapa perusahaan, bahkan semenjak sebelum pandemi. Mismanajemen, fraud, manajemen yang tidak produktif, sudah sering kali terjadi. Dengan adanya pandemi, perusahaan justru memanfaatkannya untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Bhima melihat, justru adanya pandemi ini dimanfaatkan oleh perusahaan yang sewenang-wenang pada pekerjanya. Para pekerja yang sebelum pandemi sudah rentan, menjadi semakin rentan setelah pandemi terjadi. Untuk itu, Bhima juga menegaskan poin yang disampaikan oleh Sarinah bahwa upaya-upaya advokasi terus diperlukan.
Kedua pembicara berbagi pengalamannya menangani isu-isu ketenagakerjaan, terutama Sarinah. Sarinah banyak bercerita tentang pola advokasi di serikat, dan pengalaman-pengalamannya dalam menangani advokasi buruh di beberapa perusahaan yang berbeda. Ia dan serikatnya juga banyak melakukan kampanye di media sosial sampai isu tersebut trending.
Para peserta yang ternyata terdiri dari banyak kalangan menunjukkan antusiasmenya dengan aktif bertanya pada sesi tanya jawab. “Kita melihat kondisi buruh kan semakin buruk, justru terjadi penurunan. Oleh sebab itu, harus memperkuat organisasi, bahkan organisasi harus menjadi sekolah,” tegas Sarinah di akhir diskusi. Diskusi pun diakhiri pada pukul 17.30 WIB dengan aksi simbolis. (/hfz)