Mandeknya prestasi sepak bola Indonesia hari-hari ini oleh beberapa pihak ditengarai merupakan kegagalan PSSI menjalankan tugasnya. Mulai dari adanya dualisme liga hingga dualisme kepemimpinan dalam tubuh PSSI sendiri adalah contoh terbaik bagi para pendukung argumen di atas. Kegagalan dalam melakukan pembinaan pemain, pelatih hingga official dinilai sebagai faktor utama dalam mandeknya prestasi sepakbola kita. Selain ribut-ribut soal elit di tubuh PSSI sendiri, pengelolaan tim-tim di Indonesia yang masih semrawut juga menjadi salah satu alasan sepakbola tak juga mencapai level yang membanggakan.
Menanggapi persoalan-persoalan ditubuh PSSI dan juga kemajuan persepakbolaan nasional kita, Forum Olahraga Fisipol (FOF) mengadakan diskusi bertajuk Menilik Masa Depan Persepakbolaan Nasional, pada Kamis (28/5) sore. Acara yang bertempat di Hall Selasar Barat FIsipol ini mengudang tiga pembicara sekaligus. Ketiganya masing-masing, Guntur Cahyo Utomo (Eks Pelatih Mental Timnas U-19), Fajar Junaedi (Penulis Buku “Merayakan Sepakbola: Fans, Identitas dan Media”) dan Sirajudin Hasbi (Pengamat Sepak Bola, Fandom.id).
Memulai diskusi, Guntur Cahyo Utomo menuding salah satu kesalahan dalam mengelola persepakbolaan di Indonesia adalah pada proses pengembangan sumberdaya manusianya. Ia mencontohkan, misalnya dalam sebuah klub sepakbola, hanya sekitar 30% yang bisa bertahan dan menjadi pemain profesional. Dari statistik itu, sisanya tidak memilih berkarir profesional dalam sepak bola atau hanya menjadi pemain bayaran. Sayangnya, setelah mereka keluar dalam lingkaran tersebut mereka tidak memiliki kemampuan atau kompetensi selain sepakbola. Selain itu, fasilitas yang disediakan negara lewat PSSI masih sangat minimal bagi pengembangan sumber daya manusianya.
“Bagi seorang pelatih misalnya, untuk mendapatkan lisensi kepelatihan jenjang B bahkan C itu sangat susah sekali prosesnya. Bahkan jika sudah diizinkan fasilitasnya juga masih sangat kurang,” ungkap alumni Fakultas Psikologi UGM ini.
Sementara itu, Hasbi lebih menekankan pada level klub-klub lokal di Indonesia yang dinilainya masih kurang baik pengelolaanya. Hasbi mencontohkan dalam level pengelolaan klub di Indonesia, mental APBD masih melekat. Pembinaan dilevel klub pun bahkan masih minimal lantaran jenjang karir pemain lantaran pengelolaan klub sepakbola dikelola secara sporadis dan tidak memiliki visi yang jelas. Terlebih kontrak-kontrak yang diberikan klub tersebut tidak menjamin pemain untuk bisa bertahan hidup baik selama bermain untuk klub atau setelah keluar dari klub.
“Di Indonesia saya rasa tidak ada klub yang ada hanya tim. Tim-tim tersebut selain masih memiliki mental APBD, pengelolaan klub tidak berlandaskan visi keberlanjutan, jadi hanya mengejar satu musim pertandingan saja. Apalagi ditambah pengelolaanya yang sporadis, membuat pemain-pemain tidak mampu untuk berkembang,” ungkap Hasbi.
Berbeda dengan Hasbi dan Guntur, Fajar lebih melihat pada sisi ekonomi politik sebuah sepak bola. Menurutnya, kesalahan besar persepakbolaan Indonesia tidak lepas dari sejarah sepakbola itu sendiri. Sejarah yang dimaksud Fajar di sini adalah kesalahan ‘perkawinan silang’ antara Galatama dengan Perserikatan oleh PSSI pada 1994. Menurut Fajar, kesalahan pengabungan tersebut memberi dampak yang signifikan dalam persepakbolaan Indonesia hari-hari ini lantaran pengelolaanya yang berbeda antar keduanya. Lebih daripada itu, penggunaan suporter sepakbola untuk kepentingan bisnis juga disinggung oleh Fajar menjadi penyebab kultur sepakbola saat ini menjadi tidak sehat.
Pengelolaan setelah era ‘kawin silang’ yang bercorak meniru industri sepakbola di luar negeri yang sudah mapan ternyata tidak berhasil dikembangkan oleh PSSI. Hal ini, misalnya dilihat salah satunya lewat munculnya dualisme liga dan tidak adanya kemandirian klub-klub ditambah tidak jelasnya peraturan di level PSSI misalnya bagi klub yang melanggar seperti menunggak gaji dan fasilitas yang kurang.
“Persepakbolaan Indonesia saat ini yang agaknya meniru industri sepakbola diluar mengarah pada ̶ meminjam istilah Yoshihara Kunio ̶ ‘sepakbola semu’. Indikatornya jelas, dalam sebuah industri sepak bola seperti diluar, klub harus bisa mandiri. Akan tetapi di sini, klub-klubnya masih banyak mengandalkan bantuan pemerintah terutama terkait fasilitas stadion bahkan mess untuk para pemain menggunakan aset pemerintah,”tandasnya. (D-OPRC