Mahasiswa yang mempelajari cabang-cabang ilmu sosial diharapkan terus rajin membaca, belajar dari dosen, sembari menjaga skeptisisme dan melakukan cross-checking. Propaganda yang terkandung dalam riset-riset yang telah dipublikasikan seringkali lolos dari daya kritis para intelektual di perguruan tinggi. Oleh karena itu, diskusi terbuka menjadi esensial dalam usaha mencapai konsensus demi mengatasi pelbagai permasalahan bangsa.
Hal in dinyatakan oleh Dr. Resvirond Baswir dan Prof. Max Lane dalam diskusi MAP-Corner Klub bertajuk “Ekonomi (Politik) dan Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia”, Selasa (20/2). Keduanya sepakat bahwa keadaan bangsa Indonesia beserta permasalahannya saat ini merupakan akibat dari sebab-sebab yang terdahulu. Perang Dingin menjadi latar waktu yang paling krusial. Namun, dalam proses membangun bangsa, rakyat Indonesia dirundung rasa takut untuk secara bebas mendiskusikan sejarah, terutama semasa Orde Baru. Padahal, di masa ini, propaganda Barat yang menentang kapital bentuknya sangat “halus”, yakni dalam bentuk buku hasil riset.
“Sampai saat ini, siapa yang tidak tahu tahap-tahap pembangunan yang dirumuskan oleh W. W. Rostow? Bukunya diterbitkan di Indonesia tahun 1965, bertepatan dengan dimulainya Orde Baru. Di judul asli yang berbahasa Inggris, ada sub-judul “A Non-Communist Manifesto”,” kata Resvirond yang mengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB).
Jika Perang Dunia I dan II dilancarkan dengan senapan dan meriam sebagai senjata, Perang Dunia III menggunakan ilmu sosial sebagai senjatanya. Resvirond memberikan ilustrasi dengan mengambil buku Jeanne S. Mintz, Muhammad, Marx, dan Marhaen: Akar Sosialisme di Indonesia. Penelusuran Resvirond menunjukkan bahwa Mintz bekerja untuk Project Camelot, Special Operations Research Office (SORO) Pentagon, Amerika Serikat. Bukunya diterbitkan di Indonesia tahun 1965 saat transisi Orde Baru.
“Tujuannya tidak lain untuk memetakan kekuatan sosialis di Indonesia. Indonesia harus dicegah untuk semakin dekat ke ‘kiri’, bahkan kalau bisa ke ‘kanan’. Ini dilakukan tanpa bedhil sama sekali,” tutur Resvirond. Oleh karena itu, ia mengingatkan bahwa tidak semua ilmuwan bekerja secara independen dan kadang tidak terlepas dari ideologi, sehingga pembaca perlu menanggapinya dengan lebih kritis.
Di saat yang sama, Max Lane mengatakan bahwa kurang banyak perdebatan tentang permasalahan sosial dan politik di Indonesia. Padahal, untuk mengatasi permasalahan masa kini, sejarah sangat penting untuk dipahami, dan diperlukan suatu konsensus.
“Sama seperti di Australia, generasi sekarang sulit menyatakan pendapat dan pengertiannya mengenai kolonialisme. Meskipun sudah membaca, punya statistik, tapi tetap saja keliatannya mereka nggak dong,” ungkapnya.
Max Lane berpandangan, kolonialisme menjadi kunci untuk memahami Indonesia masa kini. Saat Belanda sudah menguasai Hindia Belanda, Eropa mengalami perkembangan industri yang sangat pesat, sedangkan Hindia belum memiliki industri sama sekali. Pendidikan juga tidak merata di masa kolonialisme. Saat kolonialisme berakhir, Indonesia berdiri tanpa memiliki apa-apa dan sudah harus menghadapi tumbuhnya era ekonoi neoliberal di masa-masa selanjutnya. “Kemiskinan di Indonesia itu bukan semata-mata salah neoliberalisme, tetapi berakar dari kolonialisme,” kata Max.
Untuk mengatasi Indonesia yang hanya menjadi new emerging market, Resvirond dan Max sepakat perlu perubahan yang dimulai dari bawah. Rakyat perlu membentuk gerakan untuk menegosiasikan kembali kepentingan rakyat. Usaha tersebut dapat dimulai dari berdiskusi bersama. (/KOP)