Diskusi “Women’s Struggle in Misogynistic Society” alam Ruang Aman Eunoia

Yogyakarta, 14 Maret 2021—Dewan Mahasiswa FISIPOL UGM menyelenggarakan ruang diskusi aman untuk bertukar pikiran mengenai isu-isu yang terdapat di masyarakat bernama Eunoia. Masih dalam momentum Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret lalu, dalam pertemuan pertama Eunoia ini, Dema FISIPOL UGM mengundang Julia Opki selaku Koordinator Umum Aksi IWD 2021 Yogyakarta dan Presidium Serikat Pembebasan Perempuan (SIEMPRE) untuk membahas berbagai permasalahan perempuan dan isu-isu gender lain yang lahir dari pola pikir misoginis di masyarakat.Dalam sesi pengantar diskusi, Julia memaparkan bahwa pola pikir misoginis di masyarakat dapat dengan mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari, terlihat dari perlakuan-perlakuan di suatu lingkungan. Tidak hanya itu, pola pikir misoginis ini juga tercermin dalam kurangnya ruang diskusi yang mendengarkan suara-suara perempuan, serta aturan-aturan dan norma sosial yang secara khusus dilekatkan pada perempuan.Untuk memahami pengaruh pola pikir misoginis terhadap perempuan dan minoritas gender lainnya, Julia mengawali pembahasannya dengan menjelaskan sejarah singkat kemunculan budaya misoginis. Awalnya, pola pikir misoginis lahir dari konstruksi-konstruksi sosial atas perempuan yang mengakar dan menjadi budaya ‘legal’ di masyarakat, sehingga menimbulkan subordinasi, objektifikasi, marginalisasi, hingga feminisasi kemiskinan. Namun, selain misoginis itu sendiri, Julia menyatakan bahwa konstruksi sosial memiliki dampak lain yang lebih luas, yaitu seksisme—perlakuan dan pandangan diskriminatif berdasarkan jenis kelamin, identitas dan ekspresi gender, serta orientasi seksual tertentu.

Tidak hanya itu, Julia juga membicarakan tentang bagaimana pandemi COVID-19 memperparah kondisi perempuan di Indonesia dalam diskusi yang bertajuk “Women’s Struggle in Misogynistic Society” ini. Segala permasalahan yang dihadapi perempuan kemudian dinaikkan dan disuarakan dalam tuntutan peringatan Hari Perempuan Internasional. Sejak awal Hari Perempuan Internasional diperingati, hingga saat ini, tuntutan yang dibawakan selalu membawa satu suara yang sama, yaitu mewujudkan kesetaraan di berbagai aspek. Meski begitu, tuntutan-tuntutan ini juga selalu disesuaikan lagi dengan konteks tempat dan waktu peringatan Hari Perempuan Internasional.

Tidak hanya Julia yang banyak berbagi pandangan dan pendapatnya, tetapi para peserta juga turut antusias menanggapi isu perempuan dan budaya misoginis ini dalam sesi tanya jawab dan diskusi yang dipandu oleh Gloria Evanda Fiko, Staf Advokasi Kemasyarakatan Dema FISIPOL UGM. Pertanyaan dan opini yang diungkapkan para peserta pun beragam, mulai dari cara mengubah stigma-stigma atas feminis marxis, fenomena cuti melahirkan dan pernikahan anak, standarisasi harga diri perempuan, hubungan kesetaraan gender dengan adat ketimuran, cara meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender, hingga cara mahasiswa untuk berkontribusi mengubah konstruksi sosial yang ada.

Sebelum mengakhiri acara dengan sesi dokumentasi, Gloria mempersilakan Julia untuk menyampaikan pernyataan penutupnya. Sebagaimana yang sudah diungkapkan Julia berulang kali sejak awal diskusi, Ia kembali menegaskan bahwa penindasan perempuan muncul bersamaan dengan munculnya kelas tertindas lainnya, yang kemudian dilanggengkan dengan konstruksi sosial budaya. Sehingga, kondisi penindasan perempuan ini bukan hanya sekadar perbincangan politik identitas, tetapi harus juga melibatkan semua kelompok tertindas. (/hfz)