Youth Studies Centre UGM mengadakan diskusi terbuka bagi seluruh mahasiswa Fisipol. Diskusi ini dilakukan sebagai agenda rutin pusat studi yang fokus dalam kepemudaan di Fisipol dalam kurun waktu dua minggu sekali. Bertempat di Selasar Barat, acara ini dimulai pada Pk 13.30 WIB dan diakhiri pada Pk 15.00 WIB. Acara berlangsung meriah dengan moderator Bastian Widyatama, salah satu asisten peneliti di YouSure sekaligus mahasiswa aktif di Jurusan Politik dan Pemerintahan. Adapun materi disampaikan dari perwakilan Dewan Mahasiswa Fisipol (Dema Fisipol) yakni Satria Triputra dan Putri Aji. Satria Triputra merupakan Menteri Advokasi Dema Fisipol sekaligus mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan. Sedangkan Putri Aji merupakan Menteri Riset dan Pengembangan Dema Fisipol sekaligus mahasiswa aktif di Jurusan Managemen Kebijakan Publik. Adapun tema besar yang digagas dalam diskusi kali ini yakni terkait Pemuda, Media Sosial dan Pilpres. Tentu saja dinamika politik sosial terkait pilpres dirasa menggoda menjelang pemilu 9 Juli 2014 mendatang dan urgent untuk dikaji.
Diskusi dimulai dari pemaparan dari Putri Aji dan dilanjutkan oleh Satria Triputra dan diakhiri dengan diskusi peserta secara terbuka. Dema Fisipol yang sebelumnya melakukan riset terkait tingkat pemahaman mahasiswa pada pemilu legislatif kemarin. Hasil yang dipaparkan menunjukkan bahwa mahasiswa banyak yang kurang paham terkait pileg kemarin. Jika dikaitkan dengan pilpres, mahasiswa memiliki peran penting untuk melakukan pendidikan politik kepada public. Tentu saja ini dilakukan lantaran mahasiswa merupakan promotor perjuangan. Di samping itu media sosial hadir diantara mahasiswa dan publik. Ruang virtual ini memiliki sisi dikotomis yakni sebagai jembatan pemikiran anatra mahasiswa dan publik tapi di sisi lain juga menjadi wahana penyaluran black campaign terhadap pasangan calon.
Media sosial mengantarkan kita pada arena public baru dimana seluruh pengguna bisa berekspresi di dalamnya. Akan tetapi perlu kita pahami bahwa perilaku Golongan Putih atau Golput tidak sama dengan perilaku tidak memilih. Golput dipahami sebagai peristiwa ideologis dimana para pemikir Orde Lama merasa perlu menyuarakan aspirasi mereka atas kekuasaan rezim dengan cara memilih kertas putih pada surat suara. Namun saat ini golput justru dianggap sama dengan perilaku tidak memilih yang cenderung pesimis terhadap kinerja pemerintahan dan boleh jadi banyak yang berperilaku apatis. Sebagai mahasiswa kitapun harus pandai membaca dinamika pemilu. Dengan kata lain jangan mudah mengikuti alur. “Seharusnya kita membaca visi dan misi pasangan capres cawapres dan menelaahnya. Prabowo- Hatta memiliki 9 halaman visi dan misi sedangkan Jokowi- JK sejumlah 24 halaman”, ucap Satria Triputra. OPRC.