Sehari setelah proklamasi politik, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Di dalam UUD tersebut, terdapat pasal 33 yang menjadi fondasi dasar arah ekonomi Indonesia. Lahirnya pasal ini disebut sebagai peristiwa proklamasi ekonomi. Para pendiri negara ini sadar, merdeka secara politik akan menjadi sia-sia apabila tidak merdeka secara ekonomi.
Kini sudah 73 tahun Indonesia merdeka. Rasio gini Indonesia masih tinggi. Badan Pusat Statistik mencatat per September 2017, rasio gini Indonesia sebesar 0,391. Angka ini bisa dibilang stagnan selama hampir dua dekade. Rasio gini adalah salah satu ukuran ketimpangan. Semakin tinggi nilai rasio ini, semakin tinggi pula ketimpangan yang terjadi di suatu wilayah.
Berangkat dari kondisi ini, MAP Corner-Klub MKP menggelar diskusi santai berjudul “Ekonomi Nasional, Ketimpangan, dan Neo-Imperialisme” pada Selasa (10/4). Pemateri tunggal dalam diskusi ini adalah Awan Santosa, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM.
Awan menjelaskan, sejak merdeka sebetulnya Indonesia sudah sadar bahwa perekonomian negara ini harus dijalankan secara kolektif. Terbukti bunyi pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang mengamanahkan agar perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. “Kerja sama akan mengalahkan persaingan. Hanya dengan kita bekerja sama kita dapat mengalahkan penjajah ekonomi,” jelas Awan.
Fakta sejarah ini, menurut Awan, adalah bukti Indonesia lebih maju secara pemikiran ketimbang Singapura. Para pekerja di negara tetangga itu baru sadar bahwa kegiatan ekonomi perlu dijalankan secara kolektif pada tahun 1975. “Orang Singapura baru bicara tentang koperasi pada tahun 1975. Saat terjadi krisis ekonomi,” katanya. Namun, Singapura bisa lebih bisa memajukan koperasi dibandingkan Indonesia. Awan memberi contoh para pekerja Carrefour di Singapura yang mulai menyadari bahwa keuntungan perusahaan tempat kerjanya lari ke Prancis. Akhirnya, mereka bersatu dan membentuk perusahaan penyedia kebutuhan sehari-hari. Target pasar dari produk yang disediakan adalah anggota pemilik saham perusahaan itu sendiri. Akhirnya, mereka bisa menyaingi Carrefour hingga membuat perusahaan ritel asal Prancis tersebut tutup.
Sementara itu, proklamasi ekonomi di Indonesia tidak dijalankan secara serius. Terutama setelah terjadi peristiwa besar di tahun 1965. “Di tahun ‘65 itu bukan hanya soal menghabisi PKI (Partai Komunis Indonesia), tapi juga menghabisi ide-ide proklamasi ekonomi,” kata Awan.
Setelah peristiwa ’65 memang mulai bermunculan beberapa undang-undang yang bertentangan dengan cita-cita proklamasi ekonomi. Beberapa di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing Tahun 1967, UU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Tahun 1967, UU Penanaman Modal dalam Negeri Tahun 1968, dan UU Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Tahun 1967. Undang-undang tersebut adalah pintu masuk kolonialisme gaya baru di bidang ekonomi.
Berlanjutnya kolonialisme ekonomi yang ditunjukkan oleh penguasaan sebagian besar aset bangsa ini oleh perusahaan asing adalah bukti bahwa merdeka secara politik belumlah cukup. Awan menjelaskan, salah satu saluran kolonialisme gaya baru adalah penguasaan aset sumber daya. Sebetulnya, kata Awan, hal itu sudah terlihat pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1949, hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) sangat merugikan Indonesia. Negara ini harus membayar hutang-hutang Hindia Belanda dan dilarang melakukan nasionalisasi perusahaan asing. Keputusan tersebut sempat dibatalkan sepihak oleh Soekarno dan ia melakukan nasionalisasi perusahaan asing yang kemudian menjadi BUMN seperti Pertamina dan Perhutani. Namun, seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, pemerintahan Soeharto kembali membuka pintu kolonialisme itu.
“Namun, saat ini, yang diributkan oleh orang-orang adalah hal yang tidak penting. Padahal, permasalahan nyata kita adalah ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan aset sumber daya,” ujar Awan. Ia menyesalkan hingar-bingar akhir-akhir ini yang tidak produktif. Sehingga, permasalahan konkret dari negara ini menjadi tidak diperhatikan.
Awan kemudian membahas kondisi D.I. Yogyakarta, yang juga masih menjadi tempat kolonialisme ekonomi. Hal itu menyebabkan Yogyakarta menjadi provinsi yang angka ketimpangannya paling tinggi di Indonesia, yaitu 0,44 per September 2017. “Padahal, menurut hasil riset, produktivitas buruh industri di Yogya 25 juta rupiah per bulan per orang. Biaya produksinya 8-9 juta rupiah. Gaji buruhnya berapa? 1,5 juta rupiah,” jelas Awan soal anomali industri di Yogyakarta. Dari angka yang disebutkan, berarti ada penghisapan terhadap para buruh oleh penguasa industri. “Siapa yang menghisap? Siapa yang punya industri-industri di Yogyakarta? Mereka perusahaan-perusahaan Jepang, Taiwan, dan Cina,” lanjut Awan.
Mengenai langkah strategis untuk menyelesaikan masalah ketimpangan dan kemiskinan, Awan mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak pada cara-cara populis. Ia mengkritik kebijakan BLT (Bantuan Langsung Tunai), bagi-bagi kartu, dan bentuk lain yang serupa. Menurutnya, dengan anggaran kemiskinan tahun ini yang mencapai 297,8 triliun rupiah, mestinya pemerintah bisa memberdayakan masyarakat miskin dengan membangun perusahaan milik mereka sendiri. Bisa pula dengan cara kepemilikan saham di suatu perusahaan. Sebab, menurut hukum bisnis, keuntungan terbesar dari suatu bisnis adalah investasi.(/dim)