Yogyakarta, 5 Maret 2020—Organization of Humanity Fisipol UGM mengadakan diskusi perdana dan pemutaran film Kim Ji-Young: Born 1982 yang bertajuk “Domestifikasi Perempuan di Era Modernisasi, Relevankah?” Film Kim Ji-Young: Born 1982 mempresentasikan secara real bagaimana budaya patriaki masih mendarah daging dalam kehidupan rumah tangga. Perempuan dalam film tersebut menggambarkan bagaimana ia memaknai perannya yang tanpa disadari membuatnya mengalami tekanan dan depresi sebagai seorang ibu rumah tangga sepenuhnya. Tidak hanya itu, film ini juga menampilkan tuntutan peran wanita karir. Secara keseluruhan, beragam permasalahan dalam film yang berdurasi 1 jam 58 menit ini dikemas dengan sangat rapi sehingga dapat mendorong perempuan untuk bersuara dalam menghadapi timpaan perundungan yang berbasis gender dalam kehidupan.
Ketidakadilan rupanya menjadi akar lahirnya feminisme, sebuah istilah untuk memaknai gerakan sosial dalam upaya memperjuangkan kesetaraan gender. Berbincang soal feminisme, pikiran kita tidak jauh digerakkan ke ranah emansipasi hak yang mengarah pada domestikasi perempuan. Secara sederhana, domestikasi perempuan sendiri merupakan pengiburumahtanggaan yang mana suatu paham menempatkan perempuan sebagai makhluk yang hanya berperan dalam urusan kerumahtanggaan saja. Diskusi mengenai perempuan memang tak terlihat ujungnya, batasan peran telah menciptakan ketimpangan gender. Meskipun begitu, tak dapat dibantah pula bahwa domestikasi perempuan telah menyelimuti kehidupan masyarakat dari dulu hingga sekarang, yang faktanya masih ada.
Kegiatan diskusi dan movie screening yang mengangkat tema perempuan ini nampaknya telah menarik perhatian mahasiswa. Lebih kurang 30 mahasiswa hadir dengan sangat antusias menonton pemutaran film tersebut dari awal hingga akhir diskusi. Tidak hanya mahasiswa Fisipol UGM, mahasiswa dari luar UGM pun turut berpartisipasi dalam diskusi yang diselenggarakan di ruang 201 Gedung BG pada tanggal 4 Maret 2020 lalu. Acara tersebut berlangsung selama 3 jam dibersamai dengan narasumber Mbak Mashita Fandia, S.I.P., M.A. selaku dosen Ilmu Komunikasi dan Mbak Nusaibah Edi dari Partai Srikandi UGM yang kemudian akrab dipanggil Mbak Nusi. Diskusi yang dimoderatori oleh Rizky Dafa, mahasiswa Fisipol 2019, berlangsung dengan hangat berkat lontaran pertanyaan demi pertanyaan peserta yang menggiring berjalannya diskusi yang hidup.
Setelah sebelumnya menonton film, kedua narasumber memberi tanggapan mengenai isi yang terkandung dalam film tersebut. “Aku rasa film ini salah satu yang cukup komprehensif sih dalam menggambarkan bagaimana perempuan dan laki-laki yang sudah berumah tangga hidup dalam masyarakat yang patriarkis. Jika setelah menonton film ini kalian tidak merasa ada sesuatu yang salah terhadap masyarakat kita, maka kalian harus mempertanyakan sensitivitas diri kalian karena aku rasa secara kontekstual film ini masih banyak hal yang mungkin berbeda dari kondisi kultural yang ada di Indonesia dan masih banyak yang terjadi di sekitar kita,” ungkap Mbak Mashita.
“Film tersebut bisa mempresentasikan budaya patriarki dengan cara-cara yang sangat real terjadi. Berbicara soal domestifikasi perempuan, menurut aku ‘sorry to say’ itu budaya yang akan sangat lama diperjuangkan, seperti yang kita tahu pada era Soeharto ada keyakinan bahwa perempuan ditempatkan sebagai pelengkap suami, dan era tersebut berlangsung sangat lama. Jika mengarah pada relevansi pada zaman modern, hal tersebut sangat relevan karena sampai sekarang aja domestifikasi masih terjadi,” tambah Mbak Nusi.
“Aku senang-senang prihatin sih sebetulnya dengan perkembangan gerakan-gerakan sosial di media sosial terutama mengenai feminisme. Senangnya karena ya akhirnya bermunculan banyak yang kemudian membicarakan gender equality dan feminisme. Prihatinnya adalah cara-cara yang digunakan kadang kurang sesuai,” ujar Mbak Mashita menanggapi perkembangan gerakan feminisme. “Sebenarnya sistem yang namanya patriarki yang sudah diterima secara wajar oleh masyarakat itu sesuatu yang wajar kalo cewe menikah jadi ibu rumah tangga, melahirkan anak, dan mengurus anak. Kalau gak menikah sampai tua ada sebutannya perawan tua, belum lagi dirasani sama keluarga, tetangganya. Betapa sistem patriarki tidak hanya merasuk ke pikiran laki-laki, tetapi perempuan juga. Berbicara soal kelebihan dan kekurangan, tidak hanya perempuan yang dirugikan, laki-laki juga. Perempuan dituntut untuk mengurus rumah, laki-laki dituntut untuk menghasilkan banyak uang,” tambah Mbak Mashita.
Pada penghujung acara, Mbak Mashita memberi wejangan kepada peserta untuk memiliki jiwa anak muda modern. “Kalian bebas buat ngelakuin apa yang kalian pengen, yang kalian mau. Jangan berkecil hati hanya karena misalnya keluarga kalian kondisinya gini, masyarakat kalian kondisinya gini. Yakin aja terhadap apa yang kalian pilih, pertinggi sensitivitas terhadap lingkungan di sekitar kita untuk memanusiakan manusia,” pesan Mbak Mashita. “Kita harus sensitif terhadap lingkungan kita, tetapi kita juga harus meningkatkan literasi dan juga edukasi karena isu-isu terkini tersebut perlu kita bentuk dengan edukasi,” tutup Mbak Nusi menambahkan. (/Wfr)