DPP FISIPOL UGM Gelar Diseminasi Hasil Riset Kerja Sama dengan KU Leuven

Yogyakarta, 22 Agustus 2022—Departemen Politik dan Pemerintah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (DPP FISIPOL) UGM menggelar diskusi publik pada Senin (22/8). Diskusi publik yang bertajuk “Dua Sisi Kebhinekaan di Sekolah: Refleksi atas Toleransi dan Persepsi Keharmonisan dari Para Aktor Pendidikan di Indonesia” ini merupakan diseminasi hasil riset kolaborasi antara DPP FISIPOL UGM dan KU Leuven. Tiga peneliti yang memaparkan hasil risetnya adalah Sari Oktafiana, Ph. D Candidate at Centre for Research on Peace and Development (CRPD) KU Leuven; Anton Abdul, Candidate at CRPD KU Leuven; dan Asep Mulyana, Kandidat Doktor Ilmu Politik DPP UGM.

Sari menjadi peneliti pertama yang memaparkan hasil risetnya. Melalui risetnya, ia mencoba menelisik upaya aktor-aktor politik Islam melakukan islamisasi di Sekolah Menengah Atas (SMA). “Saya berangkat dari fakta bahwa SMA di Indonesia selalu mengalami perubahan kurikulum dan aturan dalam sejarahnya,” jelas Sari sembari menunjukkan foto perbedaan pakaian SMA pada Era Orde Baru dan sekarang. Pada 1986, Pemerintah Orde Baru sempat melarang jilbab, kemudian pada 1991, jilbab kembali boleh dikenakan. Kemudian yang sempat menuai polemik, Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 mengatur mengenai seragam muslimah. Berbagai perubahan tersebut, menurut Sari, merupakan bukti bahwa pendidikan Indonesia penuh akan kontestasi politik.

Untuk memetakan tindakan-tindakan aktor politik dalam melakukan Islamisasi, Sari melakukan penelitian di tiga SMA negeri di Yogyakarta. Pemilihan SMA Yogyakarta sebagai unit analisis dilatarbelakangi oleh fakta bahwa Yogyakarta memiliki keberagaman dalam kehidupan beragama. “Keberagaman ini tidak hanya dalam hal perbedaan agama, tetapi juga perbedaan organisasi yang berada di bawah satu agama, seperti NU dan Muhammadiyah yang berada di bawah Islam,” jelas Sari.

Ada beberapa temuan penting dalam penelitian Sari. Pertama, Islamisasi pendidikan Indonesia dapat ditemukan dalam proses amandemen UUD 1945, peraturan perundang-undangan tentang pendidikan nasional, hingga perubahan kurikulum. Kedua, Islamisasi juga dilakukan di luar kendali aturan dan kurikulum oleh guru-guru dan aktor pendidikan konservatif. “Artinya, Islamisasi ini bukan hanya merupakan permasalah struktural atau individual semata, melainkan keduanya sekaligus,” jelas Sari.

Anton menjadi peneliti yang melakukan presentasi kedua. Ia memaparkan mengenai persepsi guru lokal di sekolah-sekolah Ambon terhadap kedamaian. “Saya mencoba untuk menelusuri sejauh mana upaya pendidikan Indonesia dalam menuntaskan atau meminimalisasi risiko konflik dari masa ke masa,” jelas Anton.

Berdasarkan survei dan pengolahan data statistik, Anton menemukan bahwa guru-guru sekolah di Ambon memiliki persepsi positif mengenai kondisi perdamaian di Ambon. Uniknya, persepsi ini cenderung berbeda-beda tergantung dengan latar belakang agama. “Guru dengan latar belakang Islam cenderung memiliki persepsi yang lebih negatif mengenai perdamaian di Ambon,” jelas Anton. Faktor penyebabnya, dalam analisis regresi linear yang dilakukan Anton, adalah interaksi antara kelompok agama mayoritas dan minoritas. Semakin erat kontak kelompok-kelompok yang memiliki latar belakang agama berbeda, semakin positif pula persepsinya terhadap perdamaian.

Asep Mulyana menjadi pemapar hasil riset terakhir dalam diskusi publik ini. Ia memaparkan mengenai politik emosi dan toleransi dalam program kelas multikultural di SMK Bakti Karya Parigi, Pangandaran, Jawa Barat. “Saya memilih emosi sebagai fokus riset karena, dalam riset-riset terakhir, emosi memiliki peran penting untuk mendorong masyarakat melakukan tindakan politik,” jelas Asep.

Pemilihan SMK Bakti Karya Parigi dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. “Salah satu hal unik dari SMK Bakti Karya Parigi adalah siswa-siswanya yang berasal dari berbagai latar belakang suku, agama, dan budaya,” jelas Asep. Faktor itu mendorong Asep untuk meneliti mengenai pembentukan subjek toleran di SMK Bakti Karya Parigi.

Salah satu temuan utama Asep adalah keberadaan Kelas Multikultural di SMK Bakti Karya Parigi. Dalam program yang telah dilaksanakan sejak 2016 tersebut, siswa SMK Bakti Karya Parigi dipaparkan dengan pentingnya nilai dan wacana multikultural, toleransi, dan perdamaian. Nilai dan wacana tersebut tidak hanya menjadi objek pembelajaran di kelas, tetapi juga diimplementasikan dalam praktik interaksi sesama siswa dalam kegiatan sehari-hari. “Hal ini membuat nilai dan wacana multikultural, toleransi, dan perdamaian tertanam dan berkembang secara alami di SMK Bakti Karya Parigi,” jelas Asep. (/bkt).