Era Digital Jadi Tantangan Sekaligus Peluang Bagi Jurnalis Perempuan

Yogyakarta, 1 Desember 2021─Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM menyelenggarakan kelas praktisi mata kuliah Ragam Arena Komunikasi bertajuk Meneropong Perempuan dan Kiprahnya di Era Disrupsi Jurnalisme. Kelas ini membahas kerentanan jurnalis perempuan di era jurnalisme digital bersama Uni Lubis serta dipandu oleh Zainuddin Muda Z. Monggilo, dosen Dikom UGM selaku pengampu mata kuliah sekaligus moderator.  

Uni, yang kini merupakan Pemimpin Redaksi IDN Times dan Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia, merasa bahwa perubahan di era digital menciptakan peluang juga tantangan bagi jurnalis perempuan. Peralihan ini menyebabkan munculkan siklus berita 24/7 yang menuntut untuk siap sedia selama 24 jam, baik dari segi produksi maupun konsumsi berita. Bila sebelumnya pembaca pasif mengonsumsi informasi yang disediakan media, kini pembaca mampu menentukan informasi yang mau dicari dan mencari data melalui internet. 

Hal ini menyebabkan kecepatan menjadi salah satu nilai berita yang penting. Tak hanya itu, topik yang diangkat disesuaikan dengan isu yang ramai di media sosial atau kalangan publik. Berbagai perubahan ini mendorong kompetisi perusahaan media yang merugikan perempuan. Perempuan rawan dipotret secara tidak adil atau secara sensual untuk mendorong klik atau page views.

Sementara itu, bagi jurnalis perempuan, bekerja secara digital dengan tuntutan siklus berita 24/7 bisa memberatkan karena keperluan rumah tangga yang dibebankan pada perempuan. Bekerja secara digital juga tidak menghapus peluang tindak pelecehan bagi perempuan. Jurnalis perempuan mudah menjadi korban karena aspek-aspek personal yang tidak berkaitan dengan profesionalismenya.

“Jurnalis perempuan kalau buat berita salah, dicari datanya. Lalu dinilai karena penampilan atau identitas yang dibawa, misalnya pakai jilbab atau mukanya dinilai tidak cantik,” kata Uni. Menurutnya, peralihan ke media digital justru berbahaya karena ada jejak digital yang tersimpan dan mudah dilacak. 

Selain itu, Uni menilai ada stereotip bahwa jurnalis perempuan dinilai tidak mampu menanggung beban kerja jurnalis. Padahal, beberapa jurnalis perempuan juga menjalani peliputan bencana, terorisme, atau kerusuhan di Indonesia, seperti Najwa Shihab, Grace Natalie, dan Indy Rahmawati. Jurnalis perempuan juga sering tidak dihargai kemampuannya, tetapi dilihat dari faktor lain di luar diri perempuan tersebut, misalnya jejaring keluarga. 

Meskipun begitu, kini sudah mulai ada perubahan di ekosistem media di Indonesia dengan adanya peningkatan kontribusi jurnalis perempuan di pimpinan redaksi. Uni tergabung dalam grup WhatsApp yang berisikan 21 pemimpin redaksi perempuan. 

“Meskipun belum sempurna, tetapi masih dalam proses untuk terus diperbaiki. Sebagai pemred, kita berupaya untuk melakukan koreksi berita yang dianggap terlalu vulgar, menyudutkan perempuan, dan melindungi jurnalis, termasuk jurnalis perempuan,” kata Uni. 

Selain itu, Uni menilai bahwa era digital memberikan peluang demokratisasi bagi perempuan untuk berkembang. Jurnalis perempuan berperan untuk mengangkat isu perempuan sekaligus mencari  bekal terkait isu-isu publik agar bisa melakukan liputan dan menunjukkan kemampuannya dengan baik (/Raf).