Film dan generasi muda atau sering disebut sebagai generasi millennials adalah dua komponen yang sulit untuk dipisahkan. Dari sisi konsumen, generasi ini millennials menjadi target terbesar dari industri perfilman. Hal inilah yang diungkapkan oleh Budi Irawan selaku Dosen Komunikasi Fisipol UGM dalam acara Bincang Muda pada 26 Februari lalu. Acara yang mengusung tema “Millennials on Film: Ekspresi, Lifestyle, hingga Ruang Kritik Sosial” ini juga menghadirkan Irfan Darajat selaku anggota Festival Film Dokumenter (FFD) sebagai pembicara.
Bertempat di Lorong Gedung BC Fisipol UGM, Budi mengungkapkan bahwa belanja terbesar generasi millennials ditujukan untuk media hiburan. Salah satunya adalah film. Menurut Budi, film menjadi salah satu media hiburan yang mampu memenuhi kebutuhan audio-visual para generasi millennials. Melalui tampilan audio-visual, film dianggap mampu menggambarkan secara nyata sebuah cerita. Fakta inilah yang membuat film mampu membangun imajinasi generasi muda atas sebuah masa depan, pekerjaan, maupun gaya hidup.
“Film sangat konkrit dalam membangun imajinasi. Kita mudah mengimajinasikan tokoh Rangga dalam Film Ada Apa Cinta melalui sosok Nicholas Saputra. Berbeda dengan sastra yang kurang konkrit dalam membangun imajinasi karena hanya berupa teks,” papar Budi.
Selain itu, kedekatan emosional membuat generasi millennials sangat mudah terbawa dengan cerita-cerita yang dibangun dalam sebuah film. Oleh karena itu, sebagian besar produksi film akan membidik generasi ini sebagai konsumen utama. Budi menambahkan, nostalgia masa muda juga merupakan salah satu alasan mengapa para pembuat film lebih tertarik untuk membuat film remaja. Mengingat kebanyakan film remaja justru dibuat oleh mereka yang sudah memasuki generasi tua.
Jika Budi banyak membahas generasi muda sebagai “korban” film, Irfan lebih banyak cerita mengenai bagaimana generasi muda mampu membangun ruang diskusi melalui film. Irfan yang juga masuk dalam kategori generasi muda memaparkan bahwa film pada satu sisi memang bisa mempengaruhi gaya hidup kita, namun di sisi lain juga bisa menjadi bahan dalam memproduksi pengetahuan. “Sudah banyak komunitas anak muda, baik di Yogya maupun di luar, yang secara khusus mendiskusikan film ataupun membuat film,” ungkapnya.
Laki-laki yang aktif di Yayasan Kajian Musik Laras ini juga menceritakan bagaimana perubahan dari rental film, mengunduh di warnet, hingga sekarang lebih sering streaming. “Dulu tahun 2006 masih sering menggunakan KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) untuk rental film dimana sering terjadi dialog mengenai film antara penjual dan pembeli ataupun sesama pembeli di tempat rental,” paparnya. Meskipun perbedaan pola menonton, Irfan meyakinkan bahwa setiap pola pasti akan menciptakan ruang diskusi. Oleh karena itu, kita sebagai penonton harus lebih kritis melihat simbol-simbol yang ada di dalam film.
Selain berdiskusi, membuat meme dan parodi juga merupakan salah satu tren generasi muda dalam merespon film. Budi menganggap tren ini sebagai bentuk prosumer (gabungan dari kata produsen dan konsumen). Dimana generasi muda tidak hanya menjadi konsumen, tetapi mampu memproduksi dari apa yang mereka konsumsi. Namun, Budi melihat fenomena ini dari dua sisi. Satu sisi fenomena ini memang menunjukkan kreatifitas generasi muda. Di sisi lain, keadaan ini justru merupakan upaya eksploitasi generasi muda sebagai tenaga gratis untuk keperluan pemasaran.
Budi menyarankan, bagi generasi muda perlu memiliki cine-literacy. Hal ini bukan hanya membuat kita lebih kritis, tetapi juga agar tidak terbawa dengan dampak negatif dari film. Selain itu, kita perlu menjadikan film sebagai media perubahan dan sumber pengetahuan. Bagaimanapun juga, menurut Budi, film merupakan dokumentasi sosial yang bisa merekam jejak sejarah. (/ran)