Sabtu (10/10) pagi, FISIPOL UGM bekerjasama dengan Dialog Empati Edukasi Perdamaian (DEEP) Yogyakarta, DEEP Network dan Global Reconciliation menyelenggarakan Konferensi Internasional bertajuk Towards an Empathic World yang bertempat di Ruang Seminar Timur Lantai 2. Konferensi yang diselenggarakan selama dua hari ini merupakan salah satu rangkaian dari acara Dies Natalis ke-60 FISPOL UGM. Selama dua hari tersebut konferensi yang dihadiri oleh mahasiswa, aktivis dan orang peduli terhadap pembangunan perdamaian yang akan membahas mengenai dua isu penting tentang edukasi dan kesehatan dalam konteks meningkatkan empati di dalam masyarakat.
Meski ahli saraf telah menemukan bahwa secara pada dasarnya manusia memiliki kapasitas bawaan untuk berempati, realitas kekerasan, pertumpahan darah dan kekejaman terhadap semua manusia masih terus terjadi. Dalam hal ini meski secara lahiriah manusia punya ‘program’ untuk berempati, secara sosial manusia belum tentu punya kemampuan untuk berempati. Hal itu mengindikasikan bahwa meski kemampuan sudah dibawa secara lahiriah, kemampuan untuk berempati harus terus dilatih di dalam keseharian.
Dalam konteks kasus tersebut, konferensi ini hadir. Konferensi ini mengundang banyak ahli-ahli dari berbagai bidang yang akan membahas pembentukan perdamaian di dunia melalui peningkatan empati. Dengan pembahasan secara interdisipliner, baik ilmuan sosial dan ilmuan alam (eksak) pemecaham masalah untuk menciptakan dunia yang lebih berempati bisa terlaksana. Beberapa ahli yang turut hadir di dalamnya yakni Prof. Alberto Gomes (Direktor DEEP Network), Prof. Kinhide Mushakoji (Vice Rector United Nations University), Prof. Samina Yasmeen (University of Western Australia), and Prof. Zabidi Azhar Mohd Hussin (School of Medical Sciences, University Sains Malaysia) dan Prof. S. Yati Soenarto (Asia Pacific Consortium on Bioethics Education).
Sementara itu, dalam keynote speech-nya, Prof. Purwo Santoso (Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan, Direktur DEEP Yogyakarta) mengungkapkan bahwa konferensi ini hadir sebagai upaya menciptakan transformasi sosial terutama untuk membantu memecahkan permasalahan di masyarakat. Apalagi dengan perkembangan teknologi saat ini, Prof. Purwo mencontohkan, adanya ironi di dalam masyarakat dengan kemunculan gawai.
“Misal kasus gawai, ada ironi dalam kasus gawai itu. Duduk bersebelahan tetapi tidak saling berbicara lagi. Sangat dekat secara fisik tetapi sangat jauh secara pikiran dan hati,” ungkapnya.
Kemudian, dalam rangka menciptakan transformasi sosial yang berorientasi pemecahan masalah tersebut diperlukan perspektif yang beragam dan lintas disiplin ilmu. Selanjutnya, konferensi ini memiliki misi sebagai wadah untuk menjembatani para akademisi dan profesional dengan masyarakat umum. Dalam hal ini, membumikan teori di masyarakat sebagai subjek terdampak dari temuan-temuan dan pengetahuan baru pada level akademis.
Menutup keynote speech-nya, Prof. Purwo mengatakan bahwa pengetahuan tidak berguna kecuali ketika kita mempergunakannnya, dan pengetahuan harus digunakan oleh semua orang terutama di dalam kehidupan sehari hari. Pengetahuan tidak hanya milik para akademisi dan professional, maka dengan adanya forum ini profesional dan akademisi berupaya untuk membangun jembatan dengan dunia keseharian masyarakat yang lebih luas untuk menciptakan dunia yang lebih punya empati. (D-ORPC)