Fisipol UGM Kritik Isu Penyelewengan Gelar Profesor

Yogyakarta, 29 Agustus 2024—Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM mengkritik pemberian gelar guru besar atau profesor yang menyalahi norma-norma akademik. Kritik ini disampaikan dalam diskusi Social Research Center, Departemen Sosiologi UGM dengan tajuk “Kredensial Palsu Sang Guru Besar” pada Kamis (29/8). Dalam diskusi tersebut, disampaikan keresahan akademisi terkait hilangnya identitas akademik secara fungsional.

Dosen Departemen Teknik Mesin UGM, Prof. Dr. Eng. Ir. Deendarlianto, S.T., M.Eng. menjelaskan bagaimana seharusnya professorship diterapkan. “Profesor adalah jabatan akademik tertinggi, serta memiliki standar etika yang tinggi pula. Namun semua dosen tetap berkesempatan menjadi profesor,” ujarnya. Tujuan utama pemberian gelar profesor pada dasarnya adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan membumikannya ke masyarakat. Profesor diharapkan dapat membimbing masyarakat, generasi baru, dan menyalurkan ilmu pengetahuan pada kebijakan terkini.

Keberadaan gelar profesor memiliki peran penting untuk memimpin kemajuan ilmu pengetahuan. Prof. Deen mencontohkan sistem professorship yang diterapkan oleh negara Belanda menganut sistem multi-criteria. Terdapat empat kriteria professorship Belanda, yakni education, research, leadership, dan impact. Kualifikasi tersebut juga ditekankan dengan beberapa strategi seperti kualitas, proporsi antara pencapaian individual dan kolaborasi, pemberian hibah penelitian, dan stimulasi kepemimpinan akademik. 

“Gelar profesor juga harus memiliki kemampuan untuk menghasilkan grand strategic design. Hasil dari penelitian harus dihilirisasi dan memiliki national impact,” tutur Prof. Deen. Pemberian gelar profesor seharusnya memiliki makna lebih dari sekedar administratif. Sayangnya, saat ini beberapa kali ditemukan praktik-praktik penyelewengan guna mendapatkan gelar intelektual tersebut.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Dosen Departemen Sosiologi sekaligus Wakil Rektor UGM Bidang Kemahasiswaa, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni, Dr. Arie Sudjito, S.Sos., M.Si. menekankan kembali makna identitas profesor. “Kalau boleh saya sebut, ini problem intelektual indonesia. Kita tidak terlalu sulit untuk menjadikan intelektual sebagai alat kekuasaan. Ada terjadi pendangkalan profesor,” terangnya.

Menurutnya, perlu ada upaya meluruskan kembali peran dan fungsi profesor sebagai intelektual itu seperti apa. Gelar profesor dimaknai sebagai bagian dari peran ilmu pengetahuan bagi peradaban. Gelar tersebut diberikan pada seseorang dengan kemampuan mumpuni dan intelektual tinggi untuk menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat. 

“Fungsi-fungsi profesor ini perlu dibicarakan. Apakah dia dilantik untuk memecahkan teka-teki ekonomi masyarakat, atau teka-teki dia sendiri,” pungkas Arie. Memperoleh gelar profesor secara administratif memang tidak mudah, namun menyandang gelar tersebut juga memiliki tanggung jawab moral yang luar biasa. Dalam pendapat Arie, seorang intelektual harus dilahirkan di tengah masyarakat, menghadapi persoalan secara nyata, serta mendapat rekognisi di masyarakat. Baru akademik bisa memberikan penghargaan, apresiasi, dan gelar akan pencapaian tersebut.

“Jangan dibalik. Profesor bukan lahir dari administrasi akademik. Dia harus lahir dari ilmu pengetahuan dan pergulatan di masyarakat. Kalau publik tidak merekognisi, jadi legitimasi sosial menjadi penentu. Baru di rekognisi secara administratif,” tambah Arie. Ia juga mengkritik soal tolak ukur untuk mendapatkan gelar profesor, seperti jumlah jurnal publikasi dan lamanya masa berkarir sebagai akademisi.

Secara lebih lanjut, Arie menjelaskan bahwa proses belajar dan mencari ilmu itu tidak hanya di kelas. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk meraih gelar intelektual secara murni, bukan administratif. Seseorang harus mampu berpikir secara inklusif, berinteraksi dengan masyarakat, dan memahami persoalan multisektoral. Dengan begitu, akan lahir kembali generasi intelek bangsa yang mampu membimbing Indonesia menuju kejayaan di masa mendatang. (/tsy)