Yogyakarta, 9 Juni 2020—Pusat Pengembangan Kapasitas dan Kerjasama (PPKK) Fisipol UGM mengadakan Papua Strategic Policy Forum #3 bertajuk “Arah Baru Kebijakan Pembangunan Papua Memasuki Era New Normal” pada Selasa (9/6). Forum ini menghadirkan beberapa pembicara, yaitu: Mohamad Lakotani, S.H., M.Si., Wakil Gubernur Papua Barat; Dr. Drs. Muhammad Musa’ad, M.Si., Asisten II Sekertaris Daerah Provinsi Papua; Drs. Benhur Tommi M, MM., Walikota Jayapura, Papua; dr. Yanri Wijayanti Subroto, Ph.D., Sp.PD-KPTI, Dosen FKKMK UGM/Kepala Poli Edelweis RSUP Dr. Sardjito; dan Danang Wahyuhono, M.Sc., Peneliti Gugus Tugas Papua UGM. Kelima pembicara ini akan berbicara di sesi pertama yang kemudian akan dilanjutkan pada sesi berikutnya dengan pembicara berbeda.
Mohamad Lakotani, S.H., M.Si., menyebutkan, di Papua Barat penyebaran COVID-19 pertama kali terjadi di Kota Sorong. Dari dua belas kabupaten dan satu kota di Papua Barat, hanya satu daerah yang dikategorikan masih sangat aman yaitu Kabupaten Maybrat. Penyebaran COVID-19 di Papua Barat, tidak hanya berdampak pada sektor pemerintahan, kesehatan, ekonomi tetapi juga pendidikan. Hal ini karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan jaringan internet yang ada. “Tidak semua wilayah di Papua Barat dapat melakukan proses belajar mengajar secara daring” tutur Lakotani. Sehingga, pemerintah Papua Barat mengantisipasi dengan beberapa langkah yaitu menyiapkan dana bantuan untuk pendidikan, penjadwalan dan pergantian jam sekolah serta menyiapkan insentif untuk para guru.
Bergeser ke Provinsi Papua, Dr. Drs. Muhammad Musa’ad, M.Si., menceritakan di awal penyebaran COVID-19 di Indonesia, pemerintah Provinsi Papua melakukan gerakan preventif yang cukup cepat dengan menutup pintu masuk pelabuhan dan bandara. Selain itu kebijakan pembangunan Papua memasuki era new normal dilakukan dengan pendekatan kontekstual. Musa’ad juga menyebutkan bahwa semua keputusan yang diambil terkait penanganan, pencegahan dan penanggulangan COVID-19 dilakukan bersama-sama dengan masyarakat. Kontekstualisasi ini juga meliputi kebijakan pemerintah Papua terkait pembatasan sosial yang disebut dengan Pembatasan Sosial yang Diperluas dan Diperketat (PSDD). “Kalau kami mengikuti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ada beberapa kriteria yang tidak dapat kami lakukan karena keterbatasan”, sebut Musa’ad. Beberapa agenda yang dilakukan terkait PSDD yaitu: pembatasan keluar-masuk orang melalui pelabuhan dan bandara, pembatasan aktivitas penduduk, dan proses belajar mengajar yang dilakukan dari rumah.
Sebelum membicarakan mengenai new normal, Musya’ad menyebutkan Pemerintah Papua perlu melakukan relaksasi kebijakan terkait COVID-19. Beberapa yang sudah dilakukan yaitu memberi ruang bagi penerbanan dan pelayaran kapal untuk masuk ke Papua secara bertahap dan selektif. Pegawai pemerintahan sudah malai bekerja di kantor bagi yang sehat, dan dilakukan penjadwalan. Relaksasi juga dilakukan pada aktivitas masyarakat yang semula hanya sampai pukul 14.00 WIT kemudian akan dimundurkan hingga 17.00 WIT.
Pembicara selanjutnya adalah dr. Ni Nyoman Sri Antari, Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura mewakili Walikota Jayapura yang memaparkan data-data mengenai kasus COVID-19 di Jayapura. Sebanyak 16.900 penduduk menjalani rapid tes massal, dari jumlah ini ditemukan 529 orang positif dari 1,270 yang melakukan Tes SWAB atau sekitar 41 persennya. Upaya yang dilakukan Kota Jayapura dalam menangani COVID-19 ini yaitu membentukan Tim Gugus Tugas COVID-19 dengan membagi menjadi beberapa pokja. “Ada empat pokja, yaitu pokja pencegahan, penanganan, publikasi, serta pengamanan dan penegakan hukum,” sebut Ni Nyoman.
Yanri Wijayanti Subroto, Ph.D., Sp.PD-KPTI menyebutkan untuk penanganan COVID-19 ini perlu ditekankan pada kesehatan masyarakat. Yanri menambahkan bahwa kesehatan dan pelayanan kesehatan merupakan public goods (barang publik) sehingga harus dibiayai oleh pemerintah. Dalam hal ini, kesehatan masyarakat membutuhkan SDM berupa tenaga surveilans dan epidemologi, tenaga gizi masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, perawat dan bidan kesehatan masyarakat, promosi kesehatan dari orang-orang Papua sendiri, dan lain-lain. Data dari Dinas Kesehatan Papua, penyebaran SDM Kesehatan Masyarakat di Papua belum merata. “Diperlukan penguatan upaya kesehatan masyarakat secara sistemik yang harus sesuai dengan konteks dan untuk Orang Asli Papua,” pungkas Yanri. (/anf)