Yogyakarta, 11 Juli 2020—Institure of International Studies (IIS), Departemen Ilmu Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar seri kesembilan diskusi daring Beyond The Great Wall. Diskusi daring kali ini bertajuk “Cina: Problematika di Era New Normal”.
Diskusi melalui aplikasi telekonferensi daring Google Meet ini menghadirkan dua pembicara. Pertama, alumnus Tsinghua University, Julian Lilihata, yang memaparkan materi tentang Gelombang Kedua Virus Corona di Beijing. Kedua, mahasiswa Ilmu HI UGM, Arrizal Anugerah Jaknanihan. Laki-laki yang akrab dipanggil Herman ini memaparkan materi berjudul “Dari Beijing ke Jalanan Hongkong: Bagaimana Protes Mahasiswa Membentuk Gerakan Demokrasi di Beijing”. Selain itu, Kepala Departemen Ilmu HI UGM, Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, menjadi moderator dalam diskusi daring kali ini.
Julian mengawali diskusi dengan pemaparan tentang kondisi dan upaya masyarakat serta pemerintah Tiongkok dalam menghadapi gelombang kedua pandemi COVID-19. Menurut Julian, di akhir gelombang pertama ada beberapa catatan penting mengenai upaya Negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam menanggulangi pandemi COVID-19. Negara tirai bambu itu sudah menerapkan digitalisasi hampir di semua hal, termasuk kartu tanda penduduk versi digital dan uang elektronik. “Tapi yang terpenting ialah adanya Beijing Health Kit Application yang digunakan setiap hari oleh warga dan berfungsi untuk kehidupan sehari-hari mereka,” kata Julian.
“Saya juga melihat sendiri banyak relawan bekerja untuk melayani orang-orang yang terkarantina,” tutur Julian. Para relawan itu menjaga dan membantu memenuhi kebutuhan orang-orang yang terkarantina agar tidak keluar dari kediaman mereka selama masa karantina. Ada yang membantu memenuhi kebutuhan bahan makanan, menjadi supir yang mendistribusikan bahan makanan, hingga ada yang membuangkan sampah dari rumah orang yang terkarantina. Selain itu, pemerintah Tiongkok juga menegakkan kebijakan yang sifatnya agresif. Namun Julian menilai hal ini tepat, karena tindakan tersebut efektif menekan penyebaran virus corona di RRT.
Kemudian, Julian menjelaskan kronologi gelombang kedua pandemi COVID-19 di Cina. Kasus gelombang kedua pertama kali ditemukan pada dua orang yang bekerja di pusat penelitian daging hewan di Kecamatan Fengtai. Setelah dilakukan tes massal di kecamatan tersebut, otoritas setempat kembali menemukan kasus positif di pasar Xinfandi. Atas ditemukannya sejumlah kasus positif di Kecamatan Fengtai, pemerintah RRT mengambil langkah tegas. Otoritas setempat memecat tiga orang yang dianggap lalai, yakni general manager pasar Xinfandi, satu Sekretaris Partai dan Kepala Deputi Kecamatan Fengtai. “Pemertah juga menerapkan mekanisme masa perang, yang artinya mereka memberikan tingkat respon yang paling tinggi,” kata Julian.
Julian menyebut, terdapat perbedaan respon pemerintah RRT dalam menyikapi gelombang kedua COVID-19. Pemerintah segera melakukan pemeriksaan secara massif dan agresif terhadap orang-orang yang terdampak langsung maupun tidak langsung. Selain itu, masa karantina yang pada gelombang pertama ditetapkan selama 14 hari berubah menjadi 21 hari. “Kantor-kantor dan semua institusi juga berperan aktif untuk mendaftar tes swab bagi anggotanya,” kata Julian.
Diskusi kemudian disambung dengan pemaparan Arrizal tentang gerakan demokrasi di Tiongkok yang dimotori oleh mahasiswa. Menurutnya, gerakan demokrasi sebenarnya sudah terlihat sejak munculnya protes pro-demokrasi di Negara RRT. Pada tahun 1976, sistem politik RRT tidak terlalu fokus pada aspek ideologi, namun lebih inklusif. Pemerintah yang sebelumnya represif terhadap aksi demokrasi, berubah menjadi tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut asalkan menguntungkan negara. “Ada banyak protes pro-demokrasi yang sifatnya berkesinambungan dan satu kesatuan sebagai gerakan demokrasi di Cina,” tutur Arrizal.
“Gerakan demokrasi di China tidak hanya berangkat dari perang dingin, tapi juga ide-ide demokrasi oleh universitas dan mahasiswa,” jelas Arrizal. Menurtnya ada lima alasan mahasiswa menjadi penggerak proses pro-demokrasi di Tiongkok. Pertama, ada kultur protes antara mahasiswa. Kedua, ada tuntutan gerakan demokrasi. Ketiga, Universitas Peking dan Cinghua mewujudkan “demokrasi” di Tiongkok. Keempat, ada dukungan moral dari dosen dan universitas. Kelima, lemahnya keterikatan mahasiswa dengan negara.
Diskusi yang diikuti oleh lebih dari 60 peserta ini ditutup dengan sesi tanya jawab. Salah satu peserta, Dewi Oktaviani, bertanya tentang cara Tiongkok menstabilkan perekonomiannya di masa pandemi COVID-19. Menurut Julian, pemerintah RRT melakukan dua upaya. Pertama, bank sentral Tiongkok sudah menggelontorkan banyak bantuan berupa pinjaman yang cukup besar ke berbagai bank dan perusahaan di awal masa pandemi. Kedua, ada banyak perubahan mengenai kebijakan-kebijakan pajak. “Dua kebijakan itu yang disampaikan oleh pemerintah Tiongkok melalui media massa,” pungkas Julian. (/NIF)