Institute of International Studies (IIS) kembali mengadakan diskusi bulanan yang bertajuk “Religious Populism in the United States and Indonesia” (27/10). Diskusi kali ini mengundang Robert W. Hefner (Direktur Institute on Culture, Religion, and World affairs, Boston University) sebagai pembicara utama.
Penyebaran gerakan populis menjadi isu yang ramai diperbincangkan. Kemenangan Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat merupakan pertanda meningkatnya gerakan populisme di negara Barat yang berpijak pada kebencian terhadap kaum imigran dan komunitas islam. Di Indonesia, populisme ini ditandai dengan adanya gerakan Aksi Bela Islam yang menuntut pemenjaraan mantan Gubernur DKI Jakarta, Ahok, atas tuduhan penistaan agama.
Robert W. Hefner mengatakan bahwa populisme dilatarbelakangi karena adanya krisis kewarganegaraan di seluruh dunia. Populisme sendiri merupakan wacana politik dalam gerakan sosial yang berkonsep pada “rakyat”, namun menempatkan kelompok penguasa sebagai lawan. Populisme mengembangkan wacana untuk menghilangkan pengaruh ekstern, sehingga menimbulkan sentimen “kelompok asli vs kelompok luar”, misal kelompok etnis maupun agama. Jika dibiarkan, populisme akan mengakibatkan mekanisme konstitusional termajinalkan.
Di Indonesia, ada tiga golongan masyarakat yang mempunyai kecenderungan lebih besar untuk menjadi seorang populis. Ketiga golongan tersebut antara lain, kelas menengah yang berpendidikan, namun tidak berhasil mencapai kelas sosial diatasnya; kelas menengah pada umumnya yang terkena dampak kegagalan politik ekonomi; dan golongan masyarakat kelas bawah yang tinggal dekat dengan masyarakat kaya, misal keadaan masyarakat kelas bawah di Jakarta.
Gelombang populisme menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia. Hal ini berdampak negatif pada pluralitas di masyarakat. Oleh karena itu, Robert mengajak masyarakat untuk bersama-sama melawan populisme. Ia mendorong masyarakat untuk berpegang pada nilai-nilai hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang. Kita tidak boleh membedakan individu berdasar suku, agama, ras maupun golongan. “Orang kristen, Cina, walaupun saya tidak setuju dengan komen-komen dia tentang Yahudi, dia akhirnya bagian dari saya. Sebagai orang Indonesia, bagian dari saya sebagai seorang manusia,” ujarnya dalam bahasa Indonesia. Rasa saling menghargai sesama manusia harus diutamakan untuk melawan populisme. Sebagai individu kita juga sebaiknya berpegang pada norma-norma yang berlaku secara umum, baik yang bersumber dari ajaran agama maupun norma di masyarakat. Terakhir, populisme dapat dilawan dengan memperbaiki cara pandang kita melihat pluralistik. Masyarakat Indonesia harus bangga menjadi orang Indonesia, sehingga dapat memperkuat identitas nasional, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Menutup diskusi yang berlangsung selama 2 jam, Robert W. Hefner berpesan untuk lebih saling mengenali satu sama lain. Ia merasa bahwa ajaran tentang toleransi bukanlah hal yang utama lagi. “I think, we have to see the sources of tolerance and I actually don’t even prefer the term tolerance, I prefer the term recognition, pluralist recognition,” paparnya. Dengan mengenali satu sama lain, kita bisa saling lebih menghargai.