Siapa yang tidak mengetahui mengenai kejadian fenomenal Ketua Dewan Perwakilan Rakyat kita, Setya Novanto yang menabrak tiang listrik hingga ia harus dirawat? Kejadian ini memantik berbagai reaksi dari masyarakat Indonesia, terkhusus yang akan disoroti adalah netizen alias warganet Indonesia. Beragam komentar, postingan, hingga meme –cuplikan gambar dari acara televisi, film, atau gambar-gambar buatan sendiri yang dimodifikasi dengan menambahkan tulisan untuk tujuan melucu dan menghibur—mengenai ‘Papa Setnov’ bermunculan. Dari wajahnya yang benjol sebesar bakpau, lelucon mengenai mobilnya, hingga muncul akun twitter yang mengaku sebagai tiang listrik yang ditabrak. Gelombang aktivisme masyarakat di media sosial melalui meme menjadi temuan yang menarik untuk didiskusikan. Apakah meme dapat menjadi saluran aspirasi bagi masyarakat? Ataupun dapat menjadi saluran efektif yang akan dimanifestasikan dalam bentuk gerakan masyarakat offline?
Diskusi mingguan MAP Corner Club Manajemen Kebijakan Publik (MKP) Fisipol UGM mengangkat hal ini menjadi tema diskusi. Bertajuk “Pemberantasan Korupsi, Meme, dan Gerakan Rakyat”, diskusi diadakan pada Selasa (5/12) di Lobi Gedung MAP Fisipol UGM Sekip. Dalam diskusi ini, MAP Corner mengundang AB Widyanta, dosen Departemen Sosiologi UGM dan Danial Indrakusuma, aktivis Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia sebagai pemantik.
Oleh AB Widyanta, media sosial disebut sebagai salah satu ruang publik. Media sosial dapat membantu menghimpun gerakan massa untuk bergerak secara offline di dunia nyata. Namun, menurutnya, dalam persoalan korupsi, masyarakat terlalu sering disuguhi kasus-kasus.”Hal ini menyebabkan imunitas masyarakat terhadap kasus korupsi, yang bisa memicu apatisme masyarakat,” ungkap AB Widyanta. Hal ini yang salah satunya menjadi alasan mengapa gerakan sosial media tidak dapat tumpah ke jalan ataupun termanifestasi dalam aksi riil.
Namun menurut AB Widyanta, gerakan berbasis media sosial dapat dimungkinkan dalam takaran tertentu. “Misalnya bila menyangkut politik identitas. Penggunaan media sosial akan dirasa lebih efektif dalam menghimpun massa,” ujar AB Widyanta. Hal ini ia tengarai karena sentimen yang dirasakan bersifat individual oleh para pengguna media sosial. Sehingga isu lebih mudah dimobilisasi karena ada aspek solidaritas di dalamnya.
Hal inilah yang tidak dimiliki dalam isu pemberantasan korupsi. Kurangnya kesadaran atas kepemilikan aset negara sebagai barang publik dan adanya kecenderungan individualistik atas kasus korupsi menghambat mobilisasi masa. Karena hal tersebut, AB Widyanta turut menekankan pentingnya untuk merebut media sosial sebagai ruang publik untuk menyadarkan masyarakat atas hal tersebut.
Sedangkan menurut Danial Indrakusuma korupsi tidak dapat dilihat dari aspek moralitas semata. Lebih dari itu, Korupsi dapat dimaknai dari segi struktural. Selain itu, Danial juga memberikan pandangan korupsi dari pandangan Marxis, yaitu sabotase terhadap demokratisasi tenaga produktif. Sabotase di sini dapat dimaknai sebagai pengambilan uang atau aset negara yang seharusnya digunakan untuk masyarakat.
Danial juga memberikan beberapa solusi bagi korupsi. Yang pertama adalah adanya demokratisasi. Dalam hal ini, demokratisasi yang dimaksud dapat dimaknai sebagai penguasaan masyarakat atas aspek ekonomi dan politik negaranya. Lalu yang kedua adalah penggunaan teknologi yang tepat guna. Oleh Danial, teknologi bermanfaat untuk mengatasi korupsi dan mengorganisir masyarakat. Misalnya saja oleh transparansi data yang diberikan oleh pemerintah agar dapat diakses oleh masyarakat. Pengorganisasian masyarakat juga dapat dilakukan melalui aplikasi chat seperti WhatsApp ataupun Facebook.