Yogyakarta, 13 Juni 2023—Gugus Tugas Papua UGM, Fisipol UGM, dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyelenggarakan kegiatan penandatanganan perjanjian kerja sama antara Pusat Strategi Kebijakan Isu Khusus dan Analisis Data Kemlu RI dengan Fisipol UGM dan acara focus group discussion (FGD) dengan tema “60 Tahun Integrasi: Menelaah Kembali Pendekatan Pembangunan untuk Perdamaian Papua” pada Kamis (13/6). Acara yang diselenggarakan secara bauran di Ruang Rapat Dekanat Gedung BB Lt. 2 Fisipol UGM ini bertujuan untuk membahas isu terkini mengenai pendekatan pembangunan di Papua yang sejak lama dilakukan pemerintah dalam upaya menangani konflik di Papua.
Dipandu oleh dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM , Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, S.I.P., M.A, acara ini mengundang beberapa pembicara. Yakni Dr. Arie Ruhyanto selaku Sekretaris GTP UGM, Dr. Laksmi Adriani Savitri dari Yayasan Bentala Rakyat, dan Prof. Dr. Melkias Hetharia, SH., M.Hum. yang merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih Papua. Selain itu, acara ini juga dihadiri oleh: Prof. Dr. Purwo Santoso, MA; Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K); Dr. Siti Mutiah Setiawati, MA.; dan Dr. Silverius Djuni Prihatin, M.Si. yang menjadi penanggap dalam acara FGD ini.
“Kami sangat ingin mendengar masukan saran dan pandangan dalam mencari akar rumput permasalahan di tanah Papua serta memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi,” tutur Kepala Bidang Strategi Kebijakan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri RI, Dr. Yayan G. H. Mulyana, dalam sambutannya mengenai pentingnya pelibatan ahli dan masyarakat dalam penyelesaian konflik di Papua.
Dr. Gabriel Lele selaku Ketua Gugus Tugas Papua UGM juga menggarisbawahi dalam sambutannya bahwa peran diplomasi pembangunan dalam penyelesaian konflik Papua merupakan hal yang penting.
Perihal diplomasi pembangunan itu sendiri, Arie menyampaikan bahwa gencarnya proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah ternyata juga diikuti dengan meningkatnya angka kekerasan di Papua.
“Pendekatan perdamaian dalam pembangunan, mudah tergelincir, menghadirkan provisi atau pertumbuhan ekonomi, otomatis memicu kehadiran para pendatang karena terbukanya peluang ekonomi. Harus kita akui OAP masih belum bisa berkompetisi secara penuh dengan pendatang. Justru pendekatan pembangunan menunjukkan marginalisasi bagi OAP,” tutur Arie.
Laksmi menekankan bahwa salah satu akar masalah konflik yang terjadi di Papua adalah budaya kolonial yang mendorong modernitas yang dipaksakan. Tidak jarang juga pembangunan di Papua justru dimanfaatkan oleh masyarakat asli tertentu untuk mendapatkan keuntungan dari proses pembangunan. Sehingga, hal yang justru penting dan menjadi titik buta bagi kebijakan pemerintah di Papua adalah rekognisi sebagai upaya struktural.
Laksmi menyebutkan perihal dua upaya rekognisi yakni pengakuan hak sipil politik, dan ekonomi sosial budaya, serta strategi budaya. Namun, pembangunan di Papua juga memicu beragam tantangan.
“Saya melihat 4 akar masalah di Tanah Papua yaitu pelurusan sejarah integrasi, pelanggaran HAM, marginalisasi, dan ketimpangan pembangunan. Saya melihat 4 masalah tersebut berasal dari 1 masalah dasar yaitu ideologi Papua Merdeka. Persoalan ideologi orang Papua bergantung pada penyelesaian akar masalah yang ada,” tutur Melkias dalam papa