Hadapi Ancaman Maritim, Indonesia dan Australia Perlu Tingkatkan Kooperasi

Yogyakarta, 5 Juni 2024–Indonesia dan Australia memiliki sejarah panjang dalam hubungan diplomatik. Dalam rangka memperingati hubungan diplomatik yang telah berjalan selama 75 tahun, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM berkolaborasi dengan Kedutaan Besar Australia dalam mengadakan kegiatan #AussieBanget University Roadshow. Rangkaian kegiatan ini dimulai dengan Panel Diskusi dengan tema Harbouring Cooperation: Building a Stronger Maritime Future yang diselenggarakan pada Senin (5/6) di Auditorium Mandiri Fisipol UGM. Adapun sesi diskusi ini dipandu oleh Yulida Nuraini Santoso, Managing Director ASEAN Studies Center (ASC) UGM.

Sebagai negara maritim, baik Indonesia maupun Australia menghadapi banyak tantangan yang serupa, seperti penangkapan ikan secara ilegal, penyelundupan, kejahatan internasional, hingga perubahan iklim pada domain maritim. “Kedua negara terdampak secara signifikan akibat isu-isu tersebut. Terlebih, Kepulauan Indonesia banyak dilewati oleh kapal-kapal asing, tetapi belum ada regulasi keamanan yang baik,” ungkap Jennifer Parker, pakar dari National Security College, Australian National University. Sebagaimana disebutkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-17 tentang kemitraan global, Jennifer menekankan pentingnya kolaborasi antar kedua negara untuk menghadapi isu-isu tersebut. Meskipun demikian, kolaborasi bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan. Perbedaan tradisi hingga banyaknya jumlah pihak yang harus dilibatkan untuk mengatasi permasalahan maritim menjadi PR bagi kedua negara untuk menerjemahkan framework menjadi aksi, kata Jennifer.

Sejalan dengan Jennifer, Dafri Agussalim, Direktur Eksekutif ASC UGM, setuju bahwa kooperasi antara Indonesia dan Australia dalam keamanan maritim perlu ditingkatkan. Menurutnya, meskipun kooperasi kedua negara untuk mempertahankan keamanan di area Indo-Pasifik dinilai cukup berhasil, kini muncul berbagai ancaman keamanan non-tradisional baru, seperti kejahatan terorganisir transnasional atau Transnational Organized Crime (TOC). ”TOC mengancam perdamaian dan keamanan Bahkan dapat melanggar Hak Asasi Manusia. Setiap tahunnya, banyak nyawa melayang akibat hal ini,” tukas Dafri. Lebih lanjut, Dafri menjelaskan bahwa ancaman yang terjadi di area Indo-Pasifik akan berdampak negatif, tak hanya bagi satu negara saja, tetapi bagi negara-negara lainnya. Hal ini sejalan dengan TPB ke-16 tentang Perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang kuat. 

Diskusi dilanjutkan oleh Ristian Atriandi Supriyanto, Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Ristian menjelaskan mengenai tantangan dan peluang dalam kooperasi antara Australia dan Indonesia di era ‘Neo-Cold War’ ini. Diantaranya yaitu perjuangan untuk memiliki kontrol atas lautan, teknologi-teknologi yang disruptif, lautan yang semakin padat akan benda-benda elektromagnetik, interaksi yang kompetitif antar beberapa negara, serta ‘ruang pertempuran’ yang semakin mengecil. (/tt)