Jakarta, KOMPAS – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari berharap masyarakat menghentikan pelabelan terhadap korban dan pelaku kasus tindak kekerasan anak di sekolah. Linda Amalia berharap pelaku diberi hukuman yang sesuai dengan hukum bagi mereka.
“Penyiaran aksi kekerasan (di media sosial dan media massa) itu harus dihentikan. Hal itu untuk melindungi pertumbuhan dan perkambangan anak,” ujar Linda. Hal itu disampaikan dalam jumpa media sekaligus acara perpisahannya, di Jakarta, Rabu (15/10).
DAN (12), pelajar kelas V Sekolah Dasar Trisula Perwari Bukittinggi, Sumatera Barat, menjadi korban pemukulan rekan satu kelasnya saat jam pelajaran berlangsung pada 18 September 2014. Namun, kasusnya menduat ketika kejadian itu diketahui setalah sebuah video diunggah ke situs Youtube, Sabtu (11/10).
Linda menambahkan, saat ini telah disahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Pidana Anak. Dalam undang-undang itu, lanjutnya, memuat prinsip keadilan yang bersifat memulihkan dan beragam untuk menangani anak yang berhadapan dengan hukum.
Menurut Linda, kejadian di sekolah bisa dikurangi dengan memaksimalkan peran komite sekolah. Komite berperan untuk menjembatani hubungan antara sekolah dan rumah.
Dia menambahkan, berbagai kebijakan Pemberdayaan erempuan dan Perlindungan Anak terkait perlindungan anak, seperti pembentukan kabupaten/kota layak anak dan forum anak di daerah, tak akan mampu menghapuskan praktik kekerasan terhadap anak. “Meskipun tak bisa menghapus praktik kekerasan, sejumlah kebijakan itu diharapkan mampu memperkecil, mempersempit dan menekan kasus tersebut,” tutur Linda.
Keteladanan
Secara terpisah, sosiolog kriminal Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Soeprapto, menilai munculnya kasus kekeasan di lingkungan sekolah seperti yang dialami DAN, juga menunjukkan semakin minimnya keteladanan dari orangtua. Di sisi lain, anak-anak kini semakin bebas menyerap informasi tanpa ada filter apapun.
“Penyebab internal kekerasan di kalangan anak adalah turunnya fungsi keluarga yang semestinya memberikan norma, nilai dan budaya. Kebanyakan keluarga hanya sekadar memberikan kebutuhan material dan merasa sudah cukup,” paparnya.
Selain itu, aspek eksternal juga sangat mempengauhi anak-anak untuk berbuat kekerasan, yaitu akses gempuran informasi. Saat ini, anak-anak mudah sekali mendapatkan informasi, baik yang mendidik maupun tidak, melalui telepon seluler, televisi dan internet tanpa adanya saringan tegas dari orangtua atau guru di sekolah.
“Ketika anak-anak mendapat pengaruh dari luar tanpa ada filter, kemampuan mereka mengendalikan diri menjadi kurang. Akhirnya, anak-anak mudah sekali melakukan kekerasan yang mereka anggap sebagai hal biasa karena setiap hari mereka melihatnya di televisi, telepon seluler atau internet,”tutur Soeprapto.
Di tengah semakin masifnya gempuran informasi, menurut Soeprapto, tantangan orangtua dan guru di sekolah kini semakin besar. Keluarga harus menajdi pembekal pertama kali dalam pendampingan terhadap anak, sementara lembaga sekolah juga harus menjadi pengganti orangtua di sekolah. (dilansir dari sumber Kompas, Kamis (16/10), halaman 11)