Career Development Center (CDC) kembali menggelar Fisipol Talk bertajuk “How to be A Film Analyst” pada 19 Oktober lalu. Pada kesempatan kali ini menghadirkan Dr. Novi Kurnia, M.Si, M.A., Ph.D selaku dosen Ilmu Komunikasi sebagai pembicara. Selain menjadi dosen, Novi juga aktif sebagai pengkaji film.
Dalam pemaparan awalnya, Novi mengungkapkan bahwa hobi menonton film bisa dijadikan profesi yang menguntungkan. “Joko Anwar memulai karirnya sebagai sutradara film dengan menjadi kritikus film di Jakarta Post. Sebelumnya dia doyan banget nonton film. Mas Riri Reza itu dulunya dia anak dari pemutar film di Departemen Penerangan yang pakai proyeksi office dan dia selalu ikut bapaknya jadi terbiasa nonton film,” ungkapnya. Ada banyak profesi yang bisa dijalani bagi yang hobi menonton film, diantaranya adalah penyunting film, kritikus film, pengkaji film, penulis skenario film, penyunting film, dan banyak lagi. Namun di kesempatan kali ini, Novi hanya memfokuskan pada dua profesi yaitu kritikus dan pengkaji film.
Menurut Novi, untuk menjadi kritikus dan pengkaji film modal dasarnya adalah suka nonton film. Namun, keduanya memiliki beberapa perbedaan metode dalam memperlakukan sebuah film. Untuk menjadi kritikus film, anda harus ahli dalam memberikan pertimbangan (pembahasan) tentang baik dan buruknya sebuah film. Tentunya, pertimbangan tersebut didasari oleh pengetahuan yang mumpuni. Novi menekankan pada dua pengetahuan yang wajib dipunyai oleh seorang kritikus film, yaitu budaya dan bahasa film. Budaya dalam hal ini dimaksudkan pada budaya dari asal film itu dibuat. “Misal di film Korea, budaya toyor di Korea itu tidak apa-apa, tapi kalau di Indonesia terutama di Jawa itu dianggap tidak sopan,” jelasnya. Sedangkan bahasa film lebih mengarah pada pengetahuan tentang istilah-istilah dasar dari film. Misalnya pemahaman tentang genre, narasi, kode, suara film, penyuntingan, dan lain sebagainya.
Dengan modal pengetahuan tersebut akan memudahkan seorang kritikus dalam memahami serta memberikan penilaian terhadap sebuah film. Sehingga penilaian tersebut tidak bersifat sembarangan dan mengandalkan common sense belaka. Selain pengetahuan tentang film, seorang kritikus juga dituntut untuk mempunyai kemampuan menulis dengan baik. Hal ini dimaksudkan supaya pemaparan atas penilaian sebuah film bisa tersampaikan dengan baik ke khalayak umum.
Sedangkan untuk menjadi seorang pengkaji film, anda harus mampu menelaah dan menyelidiki secara mendalam sebuah film. Berbeda dengan proses kritik film yang lebih menggunakan pendekatan populer, proses pengkajian film lebih mengarah pada pendekatan ilmiah. “Pengkaji film bertanggungjawab untuk bisa membaca film dan aneka topik terkait dengan film melalui metode ilmiah,” paparnya. Oleh karena itu, menurut Novi, seorang pengkaji film harus mempunyai kerangka teori dalam setiap argumentasinya terhadap isi dan makna sebuah film.
Novi juga membagi beberapa lingkup yang bisa dikaji oleh seorang pengkaji film. Pertama, dari sisi ekonomi-politik dimana lingkup ini berbicara seputar relasi kuasa dan struktur dari sebuah film. Kedua dari sisi teks media, lingkup ini membahas seputar representasi, wacana, identitas, dan ideologi yang terbangun dalam sebuah film. Ketiga, dari sisi praktik bermedia, lingkup ini cukup membahas banyak hal, diantaranya agensi, penonton, produksi, distribusi, ekshibisi film. Keempat, dari sisi estetika yang membahas tentang proses kreasi dan tata artistik dari sebuah film. Kelima, dari sisi sejarah yang mengupas tentang konteks, arsip, dan restorasi film.
Bagi Novi, untuk menjadi kritikus maupun pengkaji film tentu mempunyai tantangan dan keuntungan tersendiri. Di penutup diskusi, Novi juga menekankaan bahwa, “Baik kritikus film maupun pengkaji film adalah profesi yang hanya bisa dilakukan dengan ketekunan dan konsistesi.” (/ran)