Kamis, 23 Maret 2017 bertempat Ruang BA 503, Institute of International Studies mengadakan seri diskusi bulanan dengan tema Negara dan Identitas: Hukuman Mati di Indonesia pada Era Jokowi. Pemantik diskusi adalah Tadzkia Nurshafira yang merupakan Asisten Peneliti IIS. Diskusi dimulai pada pukul 13.00 dan dimoderatori oleh Taradhinta Suryandari.
Seri diskusi ini membahas penelitian Tadzkia Nurshafira yang masih berjalan dan spesifik membahas apa sebenarnya yang ingin ditunjukkan Presiden Jokowi melalui hukuman mati di Indonesia. Awal mula, Kiki (sapaan akrab Tadzkia Nurshafira) tertarik dengan tema ini adalah ketika ia sedang bekerja di salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta. Pada waktu itu LSM tempat ia bekerja mendapat tugas untuk investigasi ke Lembaga Pemasyarakatan Nusa Kambangan. Investigasi dilakukan setelah eksekusi gelombang ketiga, Juli 2016.
“Pada saat itu yang dieksekusi mati seharusnya 14 orang terpidana untuk kasus narkoba tapi ternyata yang dieksekusi cuma 4 orang. Jadi LSM saya kesana untuk investigasi dan wawancara 10 orang sisanya”, kata Kiki.
Penyelidikan terkait pencarian informasi apakah kesepuluh narapidana tersebut mendapatkan hak-hak mereka. Hasil dari penyelidikan diawal, terdapat pelanggaran berupa hak yang tidak dipenuhi oleh negara, contohnya penerjemah yang tidak qualified sehingga sering terjadi kesalahan identifikasi kewarganegaraan, terhambatnya komunikasi antara narapidana dan pihak kedutaan besar negara masing-masing serta penyiksaan yang terjadi ketika mereka mengakui bahwa mereka membawa narkoba.
“Nah pulang dari situ, saya mikir ternyata di lapangan banyak banget masalah yang terjadi dalam proses menuju pelaksanaan hukuman mati. Berangkat dari situ saya berpikir mengapa Indonesia yang tujuannya demi menegakkan hukum justru terdapat banyak sekali cacat hukum dalam proses eksekusi hukuman mati?”, ujar Kiki.
Setelah itu pencarian berkembang, Jokowi pada tahun 2015 menyatakan bahwa salah satu fokus politik luar negerinya adalah untuk melindungi Warga Negara Indonesia di luar negeri yang jika ditelusuri lagi tidak sesuai dengan tindakan Indonesia sendiri dalam mencapai tujuan politik luar negerinya.
“Dan yang menjadi pertanyaan skripsi saya ini adalah sebenarnya apa sih yang mau Indonesia tunjukkan tentang dirinya di mata internasional terkait dengan pelaksanaan hukuman mati. Karena kalau mau menunjukkan negara hukum, Indonesia kontradiksi. Walaupun ngakunya tidak ada masalah di lapangan tapi menurut saya (karena langsung ngecek ke bawah) masih banyak pelanggaran contohnya yang kemaren yang dieksekusi 4 orang itu, masih ada yang proses grasinya belum selesai dan itu melanggar UU Grasi yang seharusnya pelaksanaan eksekusi dilakukan setelah grasi,” ungkap Kiki.
Ketika Jokowi mengeluarkan eksekusi mati, Indonesia mendapatkan kecaman dari beberapa negara. Brazil, Australia, dan Prancis memberikan kecaman ke Jokowi bahkan Brazil menarik duta besar dan juga menolak Duta Besar Indonesia. Akan tetapi walaupun dikecam, Indonesia terus maju walaupun sebenarnya ada potensi hubungan diplomatic dengan beberapa negara tersebut menjadi renggang.
Untuk melihat itu skripsi mengenai Negara dan Identitas: Hukuman Mati di Indonesia pada Era Jokowi menggunakan kerangka konseptual teori tentang identitas yang juga berhubungan analisis diskursus. Identitas dipahami sebagai sesuatu yang kontinjen, dalam artian ada sesuatu yang tidak tetap, stabil, bisa berubah, dan identitas seseorang tidak esensial. Kerangka konseptual tersebutlah yang menjadi dasar bahwa identitas yang dibawa Indonesia sebenarnya tidak lepas dari satu ranah yang bisa diperdebatkan, dikontestasikan tergantung aktor politik menggunakan strategi politik yang seperti apa.
Pada akhirnya bisa membuat diskursus yang Indonesia bawa itu jadi hegemonik mengisi kedirian dari Indonesia. Bagaimana satu diskursus ini bisa mengisi satu identitas secara hegemonik. Hal tersebut terjadi karena kalau misalnya secara konseptual yang dinamakan dislokasi. Dislokasi adalah masa ketika krisis yang terjadi pada identitas-identitas sebelumnya yang dimiliki oleh subjek dan karena ada krisis dari identitas sebelumnya. Makna yang terbentuk dari diskursus itu untuk mengisi si subjek, akhirnya memudar maknanya dan akhirnya itu menjadi landasan untuk munculnya konstruksi diskursus yang baru atas identitas.
“Jadi ketika kita bilang Indonesia ternyata yang hegemonik adalah diskursus soal ini dalam hukuman mati itu terjadi karena adanya dislokasi dari identitas yang lain. Akhirnya ada aktor-aktor yang bisa strive untuk bikin identitas itu hegemonik tapi memang syaratnya harus ada krisis itu dulu jadi tidak muncul secara tiba-tiba,” pungkas Kiki. (/dbr)