Usia ASEAN yang telah mencapai 50 tahun menjadi momentum bagi Institute of International Studies (IIS) UGM untuk meningkatkan kajian ASEAN sebagai salah satu area keahlian risetnya. Upaya ini diwujudkan dalam peluncuran buku “50 Years of Amity and Enmity: The Politics of ASEAN Cooperation”, Kamis (7/12) di Digilib Café FISIPOL.
Dua editor buku, Poppy S. Winanti dan Muhammad Rum dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI) merumuskan tiga hal sebagai dasar dari penulisan. “Ada tiga alasan yang membuat buku ini penting. Pertama, ASEAN itu ibaratnya tetangga Indonesia. Fokus politik luar negeri kita pasti berkaitan dengan negara-negara anggota ASEAN. Kedua, di usia ASEAN yang ke-50, apakah ikatan antarnegara ini menguat, atau malah melemah,” jelas Rum. Alasan yang ketiga, yaitu adanya tiga perspektif yang berbeda dalam memandang ASEAN. “Yang pertama optimistis dengan ASEAN Way, yang kedua apologetic, dan yang ketiga pesimistis atau yang melihat ASEAN Way sebagai produk politik dan bukan konstruksi identitas masyarakat ASEAN sendiri,” lanjutnya.
Buku ini membawa banyak topik, tetapi kedua editor lebih berfokus pada isu-isu keamanan. Alasannya, dalam negosiasi-negosiasi antarnegara ASEAN, isu-isu politik biasanya dianggap lebih sensitif, sehingga dikesampingkan terlebih dahulu. Poppy dan Rum sendiri mendefinisikan keamanan secara lebih luas melampaui isu-isu militer, mencakup manajemen bencana, manajemen kesehatan, dan trans-boundary haze agreement. Selama ini isu-isu tersebut berada dalam pilar Komunitas Sosial Budaya ASEAN.
Terkait ASEAN Way yang meletakkan kedaulatan negara sebagai acuan dalam bekerjasama, Poppy dan Rum mencatat bahwa terjadi pergeseran norma dan identitas di ASEAN. Ketika Deklarasi Bangkok tentang Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1995, negara-negara ASEAN memiliki konsep HAM yang berbeda. Namun, keharmonisan mulai tumbuh dengan pembentukan Komisi Antarpemerintah dalam HAM di tahun 2009.
Sukmawani Bela Pertiwi, sebagai pembahas, mengonfirmasi perubahan ini. “Kerjasama ASEAN lebih dapat dipahami dengan logic of consequence, tetapi lebih mudah dengan logic of appropriateness. Di negara-negara Asia Tenggara, perhitungan kita bukan hanya pada materi atau cost-and-benefit analysis, tetapi juga pada norma-norma. Itu mengapa konstruktivisme menjadi lebih relevan di ASEAN daripada teori-teori lainnya.” Ia menyatakan teori ini membantu melihat “ASEAN Way from within.”
Menurut Bela, peluncuran studi tentang ASEAN dalam buku ini tidak dapat ditunda lagi. “Studi ASEAN terlambat perkembangannya karena dimulai saat masa-masa pra-demokratisasi negara-negara ASEAN. Ulang tahun ASEAN yang ke-50 menjadi momentum yang tepat untuk mengisi gap karena keterlambatan tersebut,” ujarnya.
Meski demikian, Bela mencatat bahwa buku ini kurang tegas dalam perspektif yang digunakan. Untuk menjadi predictive tools, klaim untuk menjauhkan ASEAN dari perbandingan dengan Uni Eropa tidak disertai dengan perspektif yang jelas, terutama karena fungsionalisme cenderung identik dengan UE. Meski demikian, Bela mengatakan bahwa buku ini sangat kaya dengan studi kasus yang membantu pembaca memahami dinamika di ASEAN. (/KOP)