Indonesia dan Pakistan Serupa Tapi Tak Sama dalam Hadapi Kekerasan Demokrasi

Yogyakarta, 14 Juni 2024—Pelaksanaan Pemilu 2024 masih menjadi topik hangat dalam berbagai diskusi pakar politik. Tak hanya Indonesia, beberapa negara lainnya juga sedang melaksanakan tahun kontestasi politik. Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) menggelar diskusi APMA MHRD DPP, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM guna membahas masa depan demokrasi negara-negara di Asia-Pasifik pada Jumat (14/6).

Hassan Nasir Misbahar, Pakar Politik sekaligus Alumni APMA UGM diundang langsung untuk menjelaskan penelitiannya terhadap demokrasi di Pakistan yang melibatkan kekerasan. Pakistan merupakan salah satu negara di Asia Selatan yang menerapkan pemerintahan demokrasi. Hassan menjelaskan, Pakistan dulunya merupakan bagian dari India. Perpecahan internal antara agama Islam dan Hindu menjadikan Pakistan memisahkan diri. Beberapa suku yang menjadi mayoritas di Pakistan pun berpindah, sehingga saat ini mayoritas penduduk adalah imigran yang beragama Islam. 

“Negara ini belum mendapatkan pengalaman menjalankan demokrasi yang cukup, meskipun mereka adalah salah satu negara jajahan Inggris. Inilah salah satu latar belakang mengapa demokrasi mereka masih sangat lemah, bahkan melibatkan kekerasan,” tutur Hassan. Ia menjabarkan bagaimana kondisi masyarakat Pakistan setiap tahun pemilu berlangsung. Pakistan telah bertahun-tahun mengalami masa sulit dengan pemerintahan diktator. Tidak semua masyarakat secara bebas bisa menyalurkan suaranya dalam pemilu.

Beberapa penelitian yang dilakukan terhadap demokrasi Pakistan menyatakan bahwa terdapat serangkaian konflik antara peserta pemilu. “Pakistan itu adalah negara yang dikuasai oleh beberapa partai besar. Mereka memiliki wilayah kependudukan politiknya sendiri, ini yang seringkali menimbulkan konflik. Partai satu dengan yang lainnya tidak pernah berada di satu daerah yang sama,” tutur Hassan. Apalagi dengan kekuatan militer Pakistan, penggunaan kekerasan dalam pemilu menjadi lazim ditemui.

Meskipun Indonesia telah menunjukkan penurunan kekerasan dalam pemilu, namun tidak berarti demokrasi berjalan mulus tanpa kekerasan. Sri Surani, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Yogyakarta menuturkan banyaknya kekerasan yang masih terjadi di Pemilu 2024. Ia membagi kekerasan dalam hal ini adalah kekerasan secara fisik dan non-fisik. Kekerasan terhadap demokrasi ini dimaknai sebagai banyaknya upaya pelanggaran aturan oleh peserta pemilu.

“Indonesia ini penyelenggara pemilu terbesar di dunia, kita saja ada 11.000 KPPS. Banyak konflik yang maish terjadi hingga pemilu kemarin, seperti perusakan baliho-baliho partai, sampai penggunaan fasilitas publik yang tidak diperbolehkan aparat,” paparnya. Konflik tersebut terjadi akibat adanya perebutan wilayah kekuasaan partai. Fenomena ini nyatanya hampir sama dengan apa yang terjadi di Pakistan.

Rani menambahkan, pelaksanaan pemilu selama ini selalu berkutat pada masalah menahun, yakni upaya pelanggaran aturan pemilu. “Mungkin kekerasan fisik sudah menurun ya, tapi pelanggaran aturan tetap ada, salah satunya money politics,” ujarnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik money politics meningkat drastis bahkan setahun sebelum pemilu dilaksanakan. Rani juga beranggapan bahwa hukum yang berlaku saat ini belum sepenuhnya dapat menyelesaikan masalah tersebut.

Diskusi bertajuk “The Future of Democracy in Asia Pacific: Election and Violence in Indonesia and Pakistan” ini memberikan gambaran besar bagaimana demokrasi di Asia-Pasifik perlu mendapatkan perhatian khusus. Hak pilih setiap warga negara tidak boleh dihalang-halangi, dibatasi, bahkan dirampas hanya untuk kepentingan pihak tertentu. Harapannya, diskusi ini sekaligus menjadi bentuk kontribusi Fisipol UGM untuk memperkuat perdamaian, keadilan, dan kelembagaan sebagaimana tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berklanjutan ke-16. (/tsy)