Fisipol Talk (Selasa, 25/4) dengan tema How To Be A Media Commentator? menghadirkan Dr. Arie Sudjito (Dosen Departemen Sosiologi UGM dan Media Commentator) sebagai narasumber. Fisipol Talk kali ini mendiskusikan tentang media commentator. Dosen Fisipol UGM sendiri banyak yang berkecimpung di dunia professional yang kemudian diundang sebagai pengamat sosial, pengamat media, pengamat politik untuk memberikan opini atau pendapatnya tentang suatu isu, kasus atau kejadian. Salah satu yang sering tampil di media lokal maupun nasional adalah Dosen Sosiologi, Dr. Arie Sudjito.
Dalam lingkup UGM khususnya kluster sosio humaniora, Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik merupakan fakultas yang paling sering muncul di media sebagai komentator.
“Kalau saya mencoba mengeksplorasi pengalaman saya secara praktis keterlibatan saya di media itu sudah lama sejak saya mahasiswa. Saya ingat betul waktu era orde baru sistem politik kita otoriter sehingga banyak keterbatasan yang itu dihadapi oleh para akademisi maupun aktivis mahasiswa,” ujar Djito.
Djito juga bercerita bahwa dulu ruang untuk mengekspresikan pikiran dan gagasan itu sangat terbatas. Selain belum ada media internet, mode media cetak dan media elektronik masih sangat konvensional.
“Modalitas saya itu sejak mahasiswa ya jadi aktivis kemudian saya sering menulis di media di pers kampus maupun pers umum baik lokal maupun nasional. Pengalaman saya kalau kita ingin berkontribusi kepada publik kita harus memilki apa yang disebut dengan modalitas,” jelas Djito.
Sebagai media commentator ada hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Kombinasi antara data dengan perspektif
Modalitas saya adalah dengan membaca, semakin banyak kita membaca maka referensi semakin kaya. Beruntung di kalangan intelektual misalnya di Fisipol UGM telah mengolah teori di kelas dengan data di publik. Data di publik tersebut yang kemudian kita manfaatkan untuk framing, kita rangkai dengan perspektif yang kita miliki karena itu salah satu strategi jika ingin mendapat tempat di publik untuk berkomentar atau review realitas politik sosial. Pengalaman saya lebih banyak mengkombinasi antara bacaan dengan kepekaan kita kepada isu. Yang perlu diperhatikan juga adalah keunikan dari tulisan kita, apa yang membedakan analisis anda dengan yang lain. Sebagai komentator juga sebaiknya memberikan kerangka yang membedakan dengan analisis awam.
2. Positioning harus jelas
Komentator yang hanya menggunakan pengamatan normatif atau sekedar cerita informatif kurang diterima oleh publik. Kalau pilihan saya adalah perspektif kritis, saya lebih cenderung memilih pendekatan ekonomi politik di dalam menjelaskan realitas sosial.
Saya tidak mengatakan bahwa posisi pendekatan saya yang paling benar tetapi untuk apa jika pendekatan yang saya tulis sama dengan yang ditulis oranglain, tidak ada daya tarik. Maka dari itu jika teman-teman tertarik topik tertentu, PSdK misalnya tentang pembangunan anda harus lihat angle apa yang kira-kira tidak dibaca oleh publik tapi sebenarnya itu menarik.
3. Bahasa publik
Terkadang ketika anda menyampaikan sesuatu, publik belum tentu tertarik. Itulah pentingnya bahasa publik. Saya sebagai seorang akademisi tidak bisa hanya menggunakan bahasa akademisi yang cenderung berat tetapi saya belajar untuk mengemas tulisan saya menggunakan bahasa populer tanpa kehilangan substansi. Tulisan yang menggunakan bahasa atau hal-hal yang kira-kira mudah dicerna oleh publik, tulisan yang ringan tanpa mengurangi bobot.
Menulis menurut Djito merupakan seni orang untuk menuangkan gagasan. Menulis skripsi dengan menulis di koran itu berbeda sekali. Menurut Djito, gunakan bahasa populer, idenya tidak harus banyak tetapi bunganya yang harus banyak. Tantangannya sekarang teknologi tersedia tetapi kompetisi juga makin keras, menjadi komentator, analis, dan reviewer tidak sulit, kuncinya anda harus sering baca dan buatlah membaca itu menjadi hobi yang mengasyikkan.
“Jangan pernah punya anggapan bahwa pendapat itu sempurna dan absolut, menjadi komentator itu jangan takut salah. Ilmu sosial itu relatif tapi ingat anda harus reasonable apakah itu pakai perspektif ataukah pakai data. Tidak perlu anda membayangkan bahwa menulis itu nanti kalau salah bagaimana, jangan takut karena tanpa menulis anda susah untuk menuangkan ide ke public,” pungkas Djito. (/dbr)