Institut Ungu Gandeng YouSure dan Lembaga-Lembaga Lainnya dalam Dialog Seni dan HAM

Yogyakarta, 20 November 2020—Youth Studies Center (YouSure) Fisipol UGM ikut terlibat dan bersinergi dalam Dialog Seni dan HAM oleh Institut Ungu dalam rangka menyambut 16 Hari Kampanye Anti Kekerasan terhadap perempuan dan Hari Hak Asasi Manusia pada 25 November – 10 Desember.

Institut Ungu adalah sebuah organisasi seni budaya yang mempromosikan kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Berdiri tahun 2003, Institut Ungu telah menghasilkan berbagai karya seni dan kegiatan-kegiatan edukasi atau kampanye terkait HAM.

Rangkaian kegiatan Dialog Seni dan HAM dilaksanakan untuk mengajukan gagasan bahwa hak asasi manusia (HAM) dan seni mempunyai hubungan yang sangat dekat dan saling membutuhkan. Menurut konferensi pers Dialog Seni dan HAM (19/11), Institut Ungu berupaya mengangkat dan menyampaikan isu-isu HAM melalui intervensi seni budaya dengan berkolaborasi bersama berbagai pihak, yaitu lima grup teater dari lima kota di Indonesia, YouSure UGM, Kontras, Amnesty International, Perempuan Mahardhika, Jakarta Feminist, Koalisi Seni Indonesia, Sahabat Seni Nusantara, dan Jaringan Seni Perempuan.

Faiza Mardzoeki, produser sekaligus penerjemah naskah teater film yang diusung dalam kegiatan tersebut, merasa bahwa persoalan pelanggaran HAM di Indonesia sampai hari ini belum mengalami kemajuan yang signifikan.

“Tak satu pun kasus pelanggaran HAM di Indonesia diperhatikan secara serius. Mulai dari isu di tahun 1965, 1998, hingga kasus Munir dan Wiji Tukul,” kata Faiza. Padahal, isu HAM seharusnya mendapat perhatian seluruh warga negara. Ia berharap seni hasil berbagai kolaborasi melalui beragam media mampu mengangkat isu-isu pelanggaran HAM dan menjadi sarana untuk menyuarakannya kepada seluruh lapisan masyarakat.

Bersama YouSure Fisipol UGM, Institut Ungu akan merilis podcast Antar Generasi Bicara HAM melalui platform Spotify dan YouTube tanggal 23 November. Dana Fahadi, perwakilan dari YouSure UGM, menyebutkan bahwa anak muda sering dianggap tidak peduli dan tidak berkontribusi terhadap penegakan HAM di Indonesia. Oleh karena itu, podcast ini mempertemukan mahasiswa, pengajar, seniman, dan penyintas korban pelanggaran HAM masa lalu untuk melibatkan perspektif anak-anak muda dalam membicarakan isu pelanggaran HAM. Selain itu, Institut Ungu bersama YouSure akan merilis video Anak Muda Bicara HAM yang melibatkan pelajar serta mahasiswa pada tanggal 30 November.

Kegiatan utama dari rangkaian Dialog Seni dan HAM ini adalah pertunjukan daring teater film berjudul Waktu Tanpa Buku (WTB) yang digarap oleh lima sutradara perempuan, yaitu Ramdiana dari Aceh, Helia Sinaga dari Bandung, Ruth Marini dari Jakarta, Shinta Febriany dari Makasar, dan Agnes Christina dari Yogyakarta. Teater film ini juga merupakan hasil kolaborasi bersama Kala Teater Makasar, Mainteater Bandung, Ruang Kala Jakarta, dan Serikat Teater Sapulidi Aceh.

Teater film WTB berdasar pada naskah drama oleh seorang dramawan Norwegia, yaitu Lene Therese Teigen, yang berkisah tentang memori para korban pelanggaran HAM kediktatoran masa lalu di Uruguay. Salah satu sutradara yang terlibat, Agnes Christina, menyebutkan bahwa karya teater ini juga menggambarkan proses trauma healing yang dialami oleh para korban.

Kelima sutradara menghasilkan lima pertunjukan teater yang berbeda sesuai dengan interpretasi masing-masing. Kelima pertunjukan tersebut akan ditayangakan bergiliran pada 1 – 10 Desember di YouTube Institut Ungu Indonesia.

Wawan Sofwan, konsultan dalam proses pembuatan teater fim tersebut, menyebutkan bahwa menghasilkan karya teater secara daring juga cukup menantang. Salah satunya adalah memadukan aspek sinematografi yang biasanya tidak dilibatkan dalam proses pertunjukan teater. Pertunjukan daring membuat aspek sinematografi  memengaruhi bagaimana penonton menangkap makna dan menginterpretasi cerita.

Selain teater film serta produksi podcast dan video, kegiatan lainnya adalah peluncuran buku naskah drama dan Teater Film WTB pada tanggal 25 November. Di hari yang sama, akan diselenggarakan diskusi Seni dan HAM dengan topik “Bagaimana seni bisa berperan dalam pembelaan Hak asasi manusia dan keadilan sosial”.

Rangkaian kegiatan ditutup dengan diskusi dengan tema “Women’s Rights Are Human Rights” yang merupakan kolaborasi bersama Jakarta Feminist pada tanggal 10 Desember. Anindya Restuviana, program director Jakarta Feminist, mengatakan bahwa isu-isu perempuan seringkali dianggap tidak penting. Sebagai contoh, isu Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sangat sulit untuk disuarakan.

“Menurutku, diskusi yang akan kita laksanakan di Hari HAM tersebut merupakan saat yang tepat untuk menekankan bahwa isu perempuan juga merupakan isu hak asasi manusia pula,” katanya. (/Raf)