Yogyakarta, 29 Agustus 2019—Dalam membahas kasus-kasus terorisme, tidak semua diskusi membawa pembahasan tersebut ke ranah kebijakan pasca penangkapan para pelaku terorisme. Orang-orang bisa dibilang cenderung melupakan proses jangka panjang menanggulangi para pelaku. Dalam hal ini, Institute of International Studies UGM berusaha untuk berdiskusi lebih dalam mengenai proses tersebut dengan edisi ‘CANGKIR TEH’ kali ini.
Diskusi yang dimoderatori oleh Cut Intan Auliannisa Isma dari IIS ini diisi oleh dua orang pembicara dengan latar belakang yang berbeda. Pembicara pertama adalah Hardya Pranadipa, yang merupakan seorang lulusan HI UGM yang saat ini sudah mengemban gelar Master of Arts in Peace and Conflict Studies dari International Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda. Pembicara kedua adalah Ustad Abu Tholut Al-Jawiy yang merupakan seorang mantan anggota Jamaah Islamiah dan seorang pemerhati gerakan Islam.
Sebagai seorang akademisi yang menggeluti topik deradikalisasi, Hardya Pranadipa, atau biasa dipanggil Dipa, menyatakan bahwa dalam melawan terorisme, Indonesia perlu melengkapi diri dengan memilih kebijakan deradikalisasi yang tepat. Dengan kebijakan Indonesia yang sekarang, dominasi pembahasan deradikalisasi dipengaruhi kuat oleh politik sekuritisas, yang menyebabkan pemerintah seringkali melupakan aspek gerakan sosial dan gerakan kolektif yang dapat menjadi salah satu penyebab seseorang mengikuti suatu organisasi teroris.
Dipa menilai bahwa program-program pemerintah seperti blueprint dari BNPT dan ide Tito Karnavian – memisahkan perekut dan calon rektrutan organisasi teroris – belum cukup dalam menangani proses deradikalisasi Indonesia. Proses deradikalisasi Indonesia saat ini belum cukup memperhatikan struktur relasi kuasa antar narapidana. Dinamika kelompok yang berisi semacam peer pressure antar mantan pelaku terorisme dinilai tidak diperhatikan oleh aktor negara dalam menangani mereka. Hal ini menyebabkan adanya penolakan dari para narapidana terhadap ide-ide baru mengenai kebangsaan.
Ust. Abu Tholut, mengaku setuju dengan beberapa gagasan yang Dipa berikan ke diskusi. Ia lalu menambahkan bagaimana terorisme erat kaitannya dengan pembahasan politik internasional. Terlebih karena Abu Tholut melihat bahwa adanya kepentingan negara dalam menangani kelompok ‘teroris’ tertentu. Dalam konteks pembahasan jihad di Indonesia contohnya, para pejuang kemerdekaan Indonesia sebenarnya dapat dianggap melakukan jihad juga, namun tidak disebut demikian karena alasan politis.
Penjelasan Abu Tholut selain mencakup perjalanan lampaunya saat menjadi anggota Negara Indonesia Islam (NII) dan Jamaah Islamiah (JI), ia juga memijakkan kaki dalam mengkaji sifat kolonialisme jaman sekarang. Ia menjelaskan bahwa kolonialisme jaman sekarang menggunakan peperangan yang bersifat diam-diam, dapat dibilang memiliki beberapa kesamaan dengan konsepsi proxy war. Hal ini dilandasi dengan pengamatannya terhadap perang Soviet-Afghanistan.
Abu Tholut, yang pernah dididik oleh Mujahidin Afghanistan ini, menilai bahwa deradikalisasi sering tidak berhasil karena kadang dianggap sebagai deislamisasi. Ia menilai bawa dalam pengalamannya mengikuti program deradikalisasi, lembaga pemasyarakatannya kurang siap menangani para narapidana. Diskusi ini berjalan dengan lancer dan diisi dengan bahasan-bahasan yang dapat menjadi kajian kedepannya. Semoga diskusi seperti ini akan terus ada untuk memenuhi kekosongan ilmu dan kajian dalam lini bidang kenegaraan. (/Lak)