Afia Riskiani, staff Office of International Affairs (OIA) UGM memaparkan seluk beluk beasiswa ke luar negeri terutama dalam bidang administrasi. Baginya, akses untuk mengikuti beasiswa di luar negeri sangatlah banyak, namun masih jarang peminat karena ketidaktahuan informasi. “Sering dalam seminggu ada sepuluh penawaran beasiswa, namun kebanyakan pendaftar haya berkutat pada lima pilihan sehingga tidak merata, padahal justru peluang tersedia di berbagai beasiswa.,” ujar Afia yang merupakan alumni Departemen Hubugan Internasional Fisipol UGM.
Minat terhadap beasiswa luar negeri yang meningkat di UGM ditampilkan oleh data OIA yakni di tahun 2016 mahasiswa yang berangkat ke luar negeri berjumlah 522 orang. Di tahun 2017, jumlahnya meningkat menjadi 934 mahasiswa yang berangkat ke luar negeri.
Hambatan terbesar mahsiswa dalam mengikuti pertukaran internasional adalah rasa takut. “Banyak alasan seperti ‘Ah TOEFL ku kecil, IPK ku kecil’, tapi ya seharusnya dicoba saja, kalo gagal ya coba lagi”, ujar Afia
Persyaratan umum untuk mengikuti pertukaran adalah memiliki letter of enrollment atau surat keterangan aktif kuliah yang terdaftar di fakultas dan memiliki sertifikat IELTS. Dalam mengikuti pertukaran pelajar, dianjurkakan untuk ikut serta pada tahun kedua dan ketiga dengan minimal 60 SKS dan memiliki surat rekomendasi dosen yang telah mengetahui rekam jejak kita selama kuliah karena rekomendasi mendalam akan memiliki poin lebih.
Diyan Yunanato Setyaji, City Representative of Erasmus+ Alumni Yogyakarta memperkenalkan seluk belum beasiswa Erasmus+ yang merupakan hibah dari Uni Eropa dimana Indonesia diikutsertakan dalam pemberian hibah.
Erasmus Huis berbeda dari LPDP, Nuffic Neso, maupun beasiswa lain dimana sistem pembelajarannya bisa berpindah tempat dengan minimal tiga tempat selama 2 tahun bahkan lebih.
Hal ini dikarenakan Erasmus memiliki program yang sangat spesifik, seperti ilmu ekonomi di negara berkembang atau teknologi pertanian di regional afrika. Maka dari itu tidak semua kampus menyediakan kelas yang dibutuhkan sehingga harus berpindah untu mendapat kampus yang memiliki supporting class.
Karena keistemawaan Erasmus yang menggunakan sistem kuliah yang berpindah di berbagai uiversitas, seringkali lulusan dari Erasmus tidak sekedar mendapat ijazah double degree melainkan joint degree, dimana ijazah bisa didapat dari tujuh universitas yang berbeda beda dan ditandantangani tujuh rektor sekaligus.
Selain itu, Diyan juga membagikan pengalaman belajarnya selama di luar negeri. Hambatan berupa perbedaan bahasa menjadi masalah untuknya. Diyan yang berkuliah Portugal dimana bahasa inggris bukan Bahasa utama menjadi tantangan tersendiri. “Tantangan iya, tapi nyerah ngapain. Udah jauh-jauh dari Indonesia masa nyerah,” ungkapnya.
“Maka dari itu kemampuan berbahasa juga penting, selain menguasai bahasa inggris Bahasa lain merupakan bekal meskipun hanya sebatas basic seperti level B1”, ujar Diyan.
Lentera Bintang Renjana, alumni Erasamus+ 2017 yang merupakan mahasiswa Hubungan Internasional (HI) IUP Fisipol UGM 2015 menceritakan pengalamannya menjadi seorang awardee. Bintang telah mengikuti dua kali exchange yaitu Belanda dan Glasgow, Skotlandia. Baginya, mengikuti program pertukaran penting dilakukan untuk membangun relasi secara global dan menambah perspektif. “Kita bisa belajar dengan perspektif yang berbeda, kalau di HI belajar politik dari perspektif negara berkembang, di Glasgow belajar dari perspektif negara maju,” ujar Bintang.
Alasan lain yang membuat bintang terpacu untuk mengikuti exchange program adalah kegemarannya untuk traveling, salah satu pengalamannya adalah menjadi glasweigan yakni sebutan untuk orang-orang Glasgow, serta mengunjungi Diagon Alley di film Harry Potter.
Bintang menutup dengan memberiika kutipan dari Saint Agustine yang berbunyi “The world is a book, and those who do not travel read only one page”, kutipan inilah yang menjadi motivasi Bintang untuk semangat mengikuti program exchange. (/Afn)