Terlepas dari teknologi blockchain yang menyokongnya, masyarakat Indonesia yang berinvestasi dalam Bitcoin secara individual mesti tetap waspada pada kemungkinan peretasan akun. Pemerintah belum meresmikan Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah. Karenanya, Otoritas Jasa Keungan (OJK) juga belum menerapkan regulasi pada mata uang kripto tersebut dan tidak dapat menjamin keamanannya. Hal ini disampaikan oleh Nidya Rahmanita, Lead Consultant PT. Bitcoin Indonesia, dalam seri 90o Digitalk bertajuk “Bitcoin: Investasi Digital atau Ancaman Gelembung?” yang diadakan Centre for Digital Society (CfDS), Senin (26/2).
Saat ini, Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa mata uang virtual bukan alat pembayaran yang sah di Indonesia, sesuai UU no. 6 tahun 2009 dan UU no. 7 tahun 2011. Pihak BI juga menghimbau agar masyarakat berhati-hati dalam penggunaannya, termasuk Bitcoin. Ringkasnya, pemilik Bitcoin dan mata uang kripto lainnya bertanggung jawab penuh terhadap kepemilikan dan penggunaannya.
Meski demikian, Nidya tetap menekankan bahwa investasi dalam bentuk Bitcoin -meskipun spekulatif- memberikan banyak keuntungan. “Risiko akun terkena hack memang akan selalu ada. Tetapi, meskipun risikonya tinggi, profit yang bisa didapatkan tinggi juga.” Hal ini terkait dengan pembedaan antara sirkulasi Bitcoin yang dimungkinkan oleh teknologi blockchain dengan akun kepemilikan Bitcoin yang masih menggunakan database tersentral.
Teknologi blockchain, yang muncul pada tahun 2009 dan berkembang secara masif, adalah sistem peer-to-peer yang terdesentralisasi. “Artinya, tidak ada central database yang menyimpan semua pertukaran data. Jadi server-nya tersebar dalam jumlah jutaan di seluruh dunia, langsung orang ke orang,” ujar Nidya menerangkan. Artinya, pengiriman data dari satu orang ke orang lain tidak perlu melewati suatu server pusat sehingga detail transaksi tidak dapat terekspos. Segala transaksi akan tercatat pada public ledger yang juga menunjukkan bahwa sistem blockchain transparan dan tidak anonim.
“Keuntungannya, blockchain menghindarkan terjadinya peretasan server karena jika ada satu yang terkena hack, server lainnya bisa segera menyokong. Ini yang disebut security by sharing,” lanjut Nidya. Dengan demikian, sistem blockchain yang muncul bersamaan dengan Bitcoin memungkinkan transaksi secara cepat dan gratis, baik untuk pengiriman uang, pembuatan smart contract, dan sebagainya.
Teknologi ini menjadi nilai plus yang besar untuk investasi Bitcoin yang kini bernilai Rp 142.346.000/BTC. Kepemilikan Bitcoin juga menguntungkan karena dapat digunakan di seluruh dunia secara daring. Bahkan, ada beberapa negara yang telah meresmikannya sebagai alat tukar yang sah, seperti Jepang, Amerika Serikat, Swedia, dan Swiss. Nidya menyatakan, Bitcoin bersifat tahan lama, tidak bisa hancur, dan tidak bisa dipalsukan karena tidak ada bentuk fisiknya. Selain itu, Bitcoin dapat disimpan di telepon pintar, komputer, hingga cloud store.
Jumlah Bitcoin yang tersedia di internet diperkirakan sebanyak 21 juta “keping” hingga tahun 2140. Terdapat berbagai cara untuk mendapatkan Bitcoin, yaitu dengan “menambang” (mining), membeli secara daring, atau trading seperti saham.
Cara paling aman untuk berinvestasi bagi perseorangan adalah trading. Mining memerlukan komputer yang terhubung dengan internet dan listrik nonstop. Cara tersebut tidak akan efektif untuk memecahkan algoritma dalam blockchain jika ditandingkan dengan perusahaan-perusahaan mining Bitcoin yang menggunakan ratusan komputer super.
Terkait dengan efek gelembung, Nidya mengatakan krisis sedemikian rupa tidak mungkin terjadi karena jumlah Bitcoin terbatas dan nilainya disesuaikan dengan mekanisme pasar. “Bitcoin memiliki nilai intrinsik, tidak seperti bunga atau batu akik yang harganya naik sebentar, kemudian jatuh karena permintaan pasar jatuh drastis. Bitcoin dibutuhkan untuk transaksi, jadi nilainya akan cenderung stabil.” (/KOP)