Ismail Fahmi: Narasi Kontra Terkait Omnibus Law di Twitter Masih Kalah Kreatif Dibanding Narasi Pro

Yogyakarta, 10 November 2020—Polemik omnibus law dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi perbincangan hangat di media sosial, terutama setelah disahkan oleh DPR pada tanggal 5 Oktober. Media sosial menjadi wadah bagi pihak pro dan kontra untuk menyebarkan percakapan dengan narasi sebagai upaya menggerakkan dan membentuk opini masyarakat.

Drone Emprit, sebuah analisis sitem media sosial berbasis data dengan teknik analisis jaringan sosial (social network analysis), mempelajari tren-tren percakapan yang muncul, narasi yang ditangkap, serta siapa saja yang terlibat melalui kata kunci Omnibuslaw, Omnibus Law, Ciptaker, dan Cipta Kerja di Twitter. Hasil analisis tersebut disampaikan dalam Digital Future Discussion (Difussion) #38 oleh Center for Digital Society (CfDS) UGM bersama pendiri Drone Emprit, yaitu Ismail Fahmi (9/11).

Menurut Fahmi, media sosial penting untuk menyebarkan narasi kepada orang-orang awam agar ikut tergerak. Khususnya di platform Twitter, terdapat fitur Trending Topic yang kemudian membuat orang berlomba-lomba membuat narasi mereka menjadi tren tertinggi. Berdasarkan penelusurannya semenjak tanggal 28 September, respon publik terkait isu ini sebelum disahkan masih sangat sedikit karena dianggap tidak menarik.

“Meskipun berdampak dan penting, publik kita masih sepi-sepi saja kalau tidak menarik. Ketika ini disahkan, baru mulai ramai,” kata Fahmi. Mulai tanggal 5 Oktober sore hari, tren penolakan meningkat dengan dominasi akun-akun oposisi, media, mahasiswa, dan aktivis. Narasi dan tagar yang menjadi tren tertinggi adalah #BatalkanOmnibusLaw, #MosiTidakPercaya, dan #DPRKhianatiRakyat.

Apabila dipetakan di tanggal 5 pada pukul 17.00 – 22.00 saja, tren meningkat dengan munculnya dominasi PUKAT UGM dari kalangan akademisi hingga Kpop-ers, salah satunya akun @ustadchen. Cara para pengguna Twitter menyebarkan tren percakapannya adalah dengan mengikuti pihak yang lebih paham, yaitu para akademisi. Dengan kultwit yang terstruktur dari PUKAT UGM, orang-orang yang mungkin tidak memahami isu ini bisa ikut me-retweet atau membagikan narasi-narasi tersebut.

Setelah tanggal 10 Oktober, tren percakapan penolakan Omnibus Law mulai menurun dan yang tersisa adalah para aktivis atau mahasiswa. Penangkapan petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) pada tanggal 13 Oktober menyebabkan isu dan perhatian publik terpecah sehingga percakapan Omnibus Law menurun.

“Kalau saya rasa pada saat itu juga mulai muncul rasa takut untuk menyampaikan kritikan, sehingga sampai berkurang 50.000 percakapan,” kata Fahmi. Akhirnya pada tanggal 16 Oktober, tren tagar dan narasi dukungan terhadap Omnibus Law mulai meningkat. Meskipun tren kontra masih cukup tinggi, tetapi yang mendominasi bukan lagi para aktivis, melainkan media.

Selain itu, narasi oleh para pendukung Omnibus Law untuk menjawab protes masyarakat juga sangat beragam, mulai dari Omnibus Law membasmi korupsi, mensejahterakan buruh, melindungi  alam, hingga narasi-narasi mencegah demo. Para pendukung Omnibus Law juga menghadirkan format konten yang mudah dipahami dan disebarkan, misalnya video atau infografik.

Sementara itu, narasi penolakan hanya berkutat pada Mosi Tidak Percaya dan Tolak Omnibus Law. Menurut Fahmi, hal inilah yang menjadi kekurangan tren penolakan. Selain hanya mengulang-ulang konten yang sudah ada sebelumnya, narasi-narasinya tidak banyak berubah. Padahal, narasi pro Omnibus Law dibuat sangat kreatif dengan argumen yang berganti-ganti untuk menjawab protes terkait Omnibus Law.

Fahmi juga menelusuri dampak tren-tren di media sosial terhadap dukungan kepada Presiden Jokowi. Pada bulan Februari, tren narasi dan percakapan pro Jokowi masih cukup tinggi. Memasuki bulan Mei hingga Juli, tren pro Jokowi mulai mengecil dan banyak narasi ketidaksetujuan dengan Jokowi sebagai akibat ramainya isu-isu Covid. Pada tanggal 5 – 13 Oktober tren pro Jokowi terkalahkan dan banyak tokoh publik yang muncul di tren kontra, misalnya @ernestprakasa. Hal ini menunjukkan bahwa isu-isu tersebut sangat memengaruhi bagaimana dukungan serta ketidaksetujuan masyarakat terhadap Presiden.

Melihat pengaruh media sosial yang cukup besar, Fahmi berharap aktivis, mahasiswa, atau akademisi bisa menyebarkan narasi-narasi yang beragam dengan berbasis fakta serta menyajikannya dalam berbagai format konten ketika ingin bersuara tentang suatu isu penting. Hal ini harus konsisten dilakukan agar perjuangan mereka tidak dikalahkan oleh narasi-narasi yang didengungkan oleh para buzzer. (/Raf)