Bertempat di Selasar Barat Gedung Fisipol UGM (20/11), Dr. Erwan Agus Purwanto selaku Dekan Fisipol telah resmi membuka Fisipol’s Research Days 2017. Dengan mengusung tema “Knowledge for Better Society”, Fisipol’s Research Days 2017 tahun ini menyajikan kurang lebih 60 presentasi hasil penelitian dari dosen, mahasiswa, hingga lembaga atau pusat kajian.
Dalam sambutannya, Erwan menekankan bahwa Fisipol’s Research Day merupakan bagian dari tradisi Fisipol yang harus terus dilestarikan. Erwan juga mengakui, dari tahun ke tahun kualitas penelitian di Fisipol semakin meningkat bahkan mendunia. “Dulu memang kualitasnya masih kurang, tapi sekarang semakin meningkat. Semakin banyak penelitian yang dipost di jurnal internasional,” paparnya. Terakhir, Erwan menegaskan bahwa hasil penelitian-penelitian ini akan digunakan sebagai policy brief dalam menjawab berbagai permasalahan sosial di masyarakat.
Salah satunya adalah persoalan smart city dan digitalisasi yang sedang marak diterapkan di berbagai kota. Isu inilah yang dibahas pada sesi pertama di hari pertama Research Days 2017. Pada sesi ini terdapat tiga hasil penelitian yang dipresentasikan.
Pemaparan pertama dari hasil penelitian tentang Indeks Perkembangan Kota Pintar 2017 oleh Prof. Dr. Agus Pramusinto dan kawan-kawan (dkk). Pemaparan hasil penelitian ini diwakili oleh Abdul Gaffar Karim (Staf Pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan). Dalam pemaparan awalnya, Gaffar menjelaskan mengenai pemaknaan smart city dalam penelitian ini. “Smart City adalah daerah perkotaan yang menggunakan teknologi informasi untuk mengelola aset dan sumber daya secara efisien, menjaga sustainable growth, dan mendorong kesejahteraan masyarakat,” paparnya. Dimana indikator smart city sendiri mengacu pada smart economy, smart government, dan smart living.
Dengan mengambil latar penelitian di 33 ibu kota provinsi di Indonesia, didapatkan beberapa temuan menarik. Salah satunya adalah temuan di Makassar dimana command center dikembangkan oleh birokrasi sendiri. Sehingga persepsi tentang smart city menghabiskan banyak anggaran bisa ditepis dengan konsep yang ditepakan oleh Pemerintah Kota Makassar.
Dari temuan umum, Gaffar memfokuskannya pada apa yang menjadi keuntungan dan tantangan dalam penerapan smart city. Keuntungan dari penerapan smart city diantaranya adalah interaksi pemerintah dan masyarakat semakin kuat, birokrasi yang semakin berinovasi, akumulasi data, dan transparansi anggaran. Sedangkan tantangan ke depan dalam penerapan smart city adalah sinkronisasi regulasi, adanya kerjasama berbagai aktor, dan akumulasi pengetahuan dari data-data yang didapat.
Pemaparan kedua tentang The Imperatives of Digital Democracy Implementation in Indonesia: Opportunity and Challenges oleh Dr. Widodo Agus Setianto (Staf Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi), dkk. Dari penelitian ini, Widodo menggunakan sampel Kota Jakarta dengan aplikasi Qlue dan Kota Surabaya dengan aplikasi eHealth. Di Kota Jakarta didapatkan bahwa penggunaan aplikasi Qlue mempunyai dukungan regulasi yang cukup kuat. Salah satunya adalah Peraturan Gubernur yang mewajibkan setiap RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga) menggunakan aplikasi tersebut. Meskipun demikian, menurut Widodo, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki di masa mendatang. Diantaranya adalah peningkatan distribusi dan koordinasi, adanya penyaringan keluhan, dan perlunya sistem evaluasi yang jelas.
Lain hal dengan dengan Kota Surabaya dengan aplikasi eHealth. Aplikasi penanganan kesehatan masyarakat ini sudah menyebar di seluruh puskesmas di Kotamadya Surabaya dan 2 rumah sakit. Desain aplikasinya cukup simpel, user friendly, dan mudah dipelajari. Namun, dari temuannya, Widodo menganggap bahwa masih ada kesenjangan pengetahuan digital yang akan mempengaruhi penggunaan eHealth di masyarakat.
Selanjutnya, pemaparan ketiga tentang ICT (Information Communication Technologies) Development Index Indonesia oleh Dr. Kuskridho Ambardi (Staf Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi), dkk, yang diwakili oleh Viyasa Rahyaputra (Research Fellow Center for Digital Society). Dalam pemaparannya, Viyasa menjelaskan bahwa penelitian ini menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai rujukan. Dari data BPS didapatkan, provinsi terendah dalam pembangunan ICT dalah Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan provinsi tertinggi ditempati oleh Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Di mana indikator pengukurannya berdasarkan pada ICT use, ICT access, dan ICT skill. Dalam hal ini, Viyasa menekankan bahwa untuk saat ini kebijakan seharusnya tidak hanya menekankan pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga pembangunan yang mengarah pada inovasi-inovasi.