Permasalahan kesejahteraan merupakan topik yang tidak pernah selesai untuk dibahas. Di Indonesia, sejak era penjajahan hingga saat ini, banyak sekali dinamika yang telah terjadi di dalamnya. Komodifikasi yang terus diproduksi dari setiap rezimnya memberi makna yang beragam dalam menanggapi isu kesejahteraan ini. Menangkap kondisi tersebut, Keluarga Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik (GAMAPI) bekerjasama dengan KAPSTRA, National Welfare Institute dan Social Policy Club menghelat diskusi Reformation Talk (3/5) yang membahas terkait masalah kesejahteraan. Diskusi seri pertama ini mengangkat tema bertajuk ‘20 Tahun Reformasi : Rezim Kesejahteraan dan Kebijakan Sosial di Indonesia’.
Berlokasi di Selasar Barat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, diskusi tersebut mengundang dua pemantik. Di antaranya; Drs. Mulyadi, MPP Ph. D selaku dosen departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), dan Tauchid Komara Yuda S.Sos alumni PSdK.
Yuda yang didaulat sebagai pemantik pertama memaparkan sejarah panjang terkait dengan kesejahteraan dan program jaminan sosial dari masa penjajahan, kepemimpinan Soekarno, Orde Baru, hingga masa Reformasi saat ini. Ia mengungkapkan bahwa di awal berdirinya negara ini, tepatnya pada kepemimpinan Soekarno, distribusi kesejahteraan atau adanya jaminan sosial masih rendah. Menurut Yuda, ini disebabkan karena adanya hubungan terlalu dekat antara penguasa dan militer.
Di era Orde Baru, kondisi kesejahteraan dan jaminan sosial sedikit membaik dibandingkan era sebelumnya. Kendati demikian, distribusi kesejahteraan yang seharusnya murni untuk kepentingan masyarakat, justru dijadikan alat politik oleh Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan. “Pada masa ini ABRI dan PNS yang dianggap memiliki loyalitas tinggi adalah kelompok yang mendapatkan jaminan sosial,” terang Yuda. Kondisi jaminan sosial di era reformasi pun menurutnya tidak terlalu membaik. Hal ini dikarenakan aktor yang terlibat masih termasuk kroni-kroni dari Soeharto. Selain itu, adanya sistem desentralisasi yang diterapkan saat itu justru menciptakan pantronasi di tingkat daerah. “Kondisi demokrasi yang setengah matang dan lemahnya daya tawar masyarakat sipil, menyebabkan jaminan sosial di Indonesia tidak seperti di negara-negara Skandinavia,” tambahnya.
Menyambung pemaparan Yuda, Mulyadi menjelaskan munculnya rezim kesejahteraan ini merupakan bentuk dekomodifikasi untuk melepaskan masyarakat dari ketergantungan atas kesejahteraan yang tidak bersumber dari negara. Dalam kata lain, negara ingin menjadi aktor utama atau dominan dalam pendistribusian kesejahteraan masyarakatnya. Ada pun bentuk jaminan sosial yang dimaksud ialah; sickness benefit, pension benefit dan unemployment benefit. Salah satu cara mewujudkan adanya jaminan sosial tersebut bisa dilihat dari seberapa banyak negara menurunkannya dana untuk pos ini. “Semakin banyak uang keluar, maka semakin banyak jangkauan jaminan sosial kepada masyarakat dan semakin banyak ragamnya,” terang Mulyadi
Jika melihat data pada tahun 2005 hingga 2017, anggaran tersebut terus meningkat secara nominal. Namun, hal tersebut tidak bisa menjadi justifikasi menguatnya komitmen negara dalam memberi Jaminan Sosial. “Kita harus melihat persentasenya terhadap GDP,” ucap Mulyadi. Indonesia hanya menganggarkan jaminan sosial sekurang-kurangnya 2% dari GDP, angka tersebut terbilang cukup rendah jika dibanding dengan negara lain. Misalnya seperti Filipina dan Bangladesh. “Padahal Filipin dan Bangladesh adalah negara yang tidak lebih kaya dari Indonesia, namun untuk anggaran jaminan sosial mereka lebih tinggi,” tambah Mulyadi.
Alnick, mahasiswa departemen Manajemen dan Kebijakan Publik diakhir diskusi merespon penjelasan kedua pemantik dengan beberapa poin pertanyaan. Ia mempertanyakan bagaimana cara untuk meningkatkan anggaran kesejahteraan di Indonesia jika serikat buruh yang menjadi basis perjuangan jaminan sosial masih lemah, mengingat perjuangan kelas buruh memiliki andil dalam membentuk negara kesejahteraan di negara Eropa. Menanggapi pertanyaan tersebut, Mulyadi mengatakan bahwa peningkatan ini bisa dilakukan ketika serikat buruh di Indonesia telah memiliki basis politik yang lebih terarah, “Saya pernah bertanya pada salah satu serikat buruh, terkait bagaimana mereka memperjuangkan haknya. Mereka menjawabnya dengan masuk ke dalam politik. Namun ketika saya menanyakan bagaimana kendaraaannya? mereka masih mengesampingkan,” pungkas Mulyadi.(/rws)