Yogyakarta, 3 November 2023—Kontestasi Pemilu 2024 semakin memanas. Tiga calon presiden dan wakil presiden yang resmi mendaftar mulai gencar melakukan kampanye. Menariknya, ketiga calon sama-sama memiliki pendukung yang luas, sehingga demokrasi benar-benar didorong untuk mengawal jalannya pemilu kali ini. Generasi Z sebagai pemilih pemula dinyatakan sebagai kelompok yang mendominasi pemilik suara. Karenanya, kesiapan generasi Z patut dipertanyakan.
“Sebelum anak muda ini berperan, harus memahami dulu problematika demokrasi kita ini seperti apa. Ada banyak masalah yang dihadapi oleh demokrasi kita sejak dulu. Ketika Pemilu 2009 itu Presiden SBY terpilih dengan dukungan massa yang besar. Tapi cara beliau membentuk kabinet ini terlalu mengakomodasi kepentingan banyak pihak, sehingga berdampak pada efektivitas kerja pemerintah. Nah, ini kemudian harus hati-hati untuk memilih kepentingan seperti apa yang berpihak pada rakyat,” ucap Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Dr. Wawan Mas’udi, S.IP., MPA dalam diskusi bertema “Membaca Arah Politik Masyarakat Politik pemilu 2024: Literasi Kaum Muda” pada Jumat (3/11).
Tak hanya itu, penegakan demokrasi kian mengalami penurunan karena adanya kepentingan ekonomi-politik pemerintah. Salah satu indikator untuk Indonesia bisa menjadi negara maju adalah meningkatkan pendapatan negara. Sayangnya, target pemerintah ini justru menjadikan politik Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemain bisnis yang menimbulkan sistem oligarki. Belum lagi soal korupsi terstruktur yang semakin mengakar kuat dalam sistem. Sejauh ini, penanganan korupsi belum mampu menurunkan tingkat korupsi itu sendiri. Terbukti dengan dinyatakannya Indonesia sebagai negara paling korup ke-lima di Asia Tenggara.
“Kehadiran Jokowi ini sebenarnya menjadi angin segar pada demokrasi kita. Karena terlepas dari kepentingannya dengan partai politik, Pak Jokowi mampu membentuk kabinet yang bisa bekerja secara efektif. Walaupun pada akhirnya, demokrasi kita ini juga mulai patah-patah di akhir tahun 2014. Isu-isu sipil dan HAM misalnya, ini mulai tersingkir karena kepentingan pemerintah yang harus berkompromi dengan banyak pihak untuk membangun ekonomi kita,” tambah Wawan. Hambatan demokrasi seperti ini memang sulit untuk dihindari. Karena kesejahteraan dan tuntutan rakyat saat ini sangat ditentukan oleh perekonomian. Maka diperlukan banyak diskusi dan renungan untuk melihat bagaimana Indonesia selama lima tahun kedepan.
Pengamat politik UGM, Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si. turut memberikan pandangannya terhadap demokrasi Indonesia. Ia menjelaskan, demokrasi Indonesia sudah saatnya mengalami revitalisasi dan reformasi kembali. Cara pandang politik saat ini sudah tertinggal jauh dari perkembangan zaman. Apalagi dengan dominasi peran generasi Z di ranah digital, politik harusnya bisa dimaknai dengan lebih luas. Namun tentunya, perubahan harus tetap memegang teguh nilai etis dalam berpolitik.
“Kegiatan politik mahasiswa ini kalau dibandingkan dengan tahun ‘98 dulu jelas berbeda. Kalau dulu kita demo di gedung-gedung pemerintah, sekarang organisasi mahasiswa saja saya kira sudah tidak banyak peminat. Lalu apakah hal itu menjadikan mahasiswa apolitis? Tentu tidak,” ungkap Arie. Besarnya disrupsi digital membuat partisipasi politik juga perlu didorong untuk memperluas cara pandang. Tidak berpartisipasi dalam organisasi, partai, ataupun gerakan politik tidak bisa menjadi dasar untuk mengatakan seseorang anti politik. Karena di era ini, terdapat berbagai cara untuk berpartisipasi politik, dalam bentuk kritik, pendapat, hingga diskusi yang bisa dibangun melalui media apapun.
“Jadi kelompok muda ini perlu diberikan ruang. Jangan-jangan, hanya karena cara pandang politik kita yang tertutup ini, demokrasi kita jadi tidak jalan. Setiap generasi itu memiliki tantangan politik dan peran yang berbeda-beda. Kali ini, saatnya generasi Z yang menentukan arah politik kita, dan isu seperti apa yang harus dikedepankan,” tambahnya. Ruang-ruang diskusi politik yang dibangun di masyarakat perlu memerhatikan keterlibatan kelompok muda, karena generasi inilah yang akan membentuk Indonesia di masa mendatang.
Acara yang digelar oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Fisipol UGM ini juga merupakan salah satu bentuk kontribusi mahasiswa mendukung Suistanable Development Goals (SDGs), khususnya poin 16 tentang kelembagaan yang kuat. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan tidak akan bisa menjalankan perannya tanpa dukungan dan partisipasi elemen masyarakat, industri, pendidikan, dan lain-lain. Dukungan ini akan menjadikan setiap lembaga bisa memaksimalkan perannya, dan mewujudkan sistem negara yang adil, berdaulat, dan demokratis. (/tsy)