Gandung: Ada Enam Sempalan, Seharusnya Sudah Mampus.
Jogja- Hari ini, 20 Oktober, Partai Golkar genap berusia 50 tahun. Memperingati tahun emas itu, DPD Partai Golkar DIJ menggelar evaluasi setagah abad partai yang semula bernama Sekber Golkar tersebut.
“Ulang tahun emas ini kita gunakan untuk mulai salira hangrasawani (Instropeksi). Bagi manusia, usia 50 tahun itu berarti sudah berbobot emosi, intelektual, dan pikirannya.” Ungkap Ketua DPD Partai Golkar DIJ Gandung Pardiman saat memberikan gemblengan politik bagi pengurus dan kader partainya yang mengikuti seminar di Hotel Cavinton, Jogja, Kemarin (19/10).
Gandung mengungkapkan, ke depan partainya harus dapat menjadi pelita yang menerangi di tengah kegelapan. Namun dia tidak ingin pelita tersebut adalah lilin yang luluh lantak tak berbekas setelah memberikan penerangan.
Sebaliknya, ia ingin agar setiap kadernya dapat memberikan sumbangsih intelektual dengan begitu ada kebiasaan berpikir, dialog dan mampu melihat realitas.
“Sekarang banyak pemimpin yang tidak mampu membuat realitas. Politik adalah kepentingan tapi harus terukur. Sekarang kepentingan politik itu menjurus ke harga diri. Ini yang berbahaya sehingga kita di akar rumput jadi menjadi korban harga diri,” Sesal anggota DPR RI Periode 2009-2014 ini. Dalam wejangannya politikus asal Imogiri itu juga menyampaikan otokritik terhadap pola pembinaan kader di partainya. Ia menangkap kesan, pola rekrutmen kader sekarang kurang terpola dan tertata. Padahal, mereka memegang peran kunci penting di parta. Misalnya, duduk di legislatif dan eksekutif.
“Kita tidak punya tata nilai dan tata keyakinan. kita kadang dirusak oleh kader-kader mualaf (kutu loncat) yang tidak jelas asal-usulnya, tapi membuat porak poranda,” Ungkap Gandung.
Pria kelahiran 25 Februari 1953 itu juga mengungkapkan perjalanan panjang partainya sempat diguncang oleh lahirnya sempalan-sempalan partai. Dalam catatan Gandung, ada enam kali.
Pertama, ditandai munculnya Partai Keadilan Persatuan (PKP) yang dikomandani mantan Panglima Abri Jenderal Edi Sudrajat usa MUNAS Parta Golkar 1988. Kedua, lahirnya PKPB besutan bekas KSAD Jendral Hartono. “Ketiga, Parta Hanura dibawah mantan Menhankam/Pangab Jendral Wiranto dan Keempat, lahirnya partai Demokrat di bawah kepemimpinan SBY,” Tuturnya.
Sedangkan sempalan berikutnya adalah parta Gerindra yang dipimpin oleh mantan Pangkostrat Letjen Prabowo Subianto dan Partai Nasdem yang dibidani Surya Paloh.
“Partai Golkar itu partai ajaib. Karena secara teori seharusnya Golkar sudah mampus dan menjadi almarhum atau almarhumah. Kita patut bersyukur, Golkar tetap menjadi partai pemenang kedua pemilu 2014 ini karena kita pegang tata nilai dan keyakinan meridhai,” Ujar Gandung.
Di depan kadernya ayah tiga anak ini juga mengingatkan empat indikator sukses bagi partainya. Yakni sukses memenangkan pemilu legislatif dan menempatkan kadernya menjadi wakil rakyat yang mampu menjalankan tugas sesuai pokok fungsi (tupoksi).
“Jadi anggota DPRD harus siap miskin, bekerja dengan ikhlas bukan untuk mengembalikan dana kampanye, nomer piro wani piro (NPWP). Itu namanya tersesat,” sindirnya.
“Sukses berikutnya adalah sukses di eksekutif. Secara terus terang ia tidak ingin memiliki kader yang menjadi kepala daerah seperti wakil gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama alias Ahok. Gandung menganggap sosok Ahok tidak memahami asal-usul. Ia juga berpesan kepada kadernya agar tak terlalu tinggi mengapresiasi kadernya yang menjadi kepala daerah.
“Di DIJ ini ada kader kita yang disebut kader terbaik PDIP sehingga kelaminnya nggak jelas. Itu Golkar atau PDIP. Kalau memberikan pujian jangan kedhuwuren (terlalu tinggi),” pesannya.
Gandung juga berharap anggotanya tak cepat berpuas diri meski punya walikota dan wakil Bupati Bantul. Nyatanya, hasil pemilu legislatif di Kota Jogja, kursi Golkar hanya lima buah. “Apakah itu indikasi kita berjaya di kota? Kalau di Bantul suaranya naik sedikit,” paparnya.
Ketiga, sukses partai adalah jika MUNAS, MUSDA hingga MUSDES tidak ada sempalan. Sedangkan sukses keempat bila partai benar-benar dicintai rakyat. “Sebetulnya ada satu lagi yakni keberadaan anggota partai sebagai agen pembaruan. Ini berarti kita ini seperti wakil Tuhan di dunia. Ini senafas dengan ikrar Panca Bakti,” Lanjutnya.
Ke depan, partai Golkar juga harus banyak diisi kader-kader muda. manajemen pengelolaan partainya harus dibenahi. Bila tidak, dikhawatirkan Golkar bisa dilupakan orang, sehingga hanya menjadi legenda sebagaimana kisah binatang dinosaurus yang pernah hidup 70 juta tahun silam.
Gandung juga sempat mengutip tulisan karya pujangga Kraton, Surakarta Ronggo Warsito tantang zaman Kalabendu. Kondisi sekarang mencerminkan keadaan sebagaimana ramalan Ronggowarsito tersebut.
“Sekarang ini zaman Kalabendu. sing apik ditampik, sing olo ditompo, sing salah dianggep gagah, sing bener dianggap keblinger. Zaman Kalabendu ditandai banyak buta kalabendana. Raksasa yang makan terus menerus. Ini saatnya bagi partai Golkar untuk sabar, telaten, dan prihatin,” harapnya.
Ketua dewan pembina DPP Partai Golkar Akbar Tanjung mengapresiasi acara yang digelar Golkar DIJ tersebut. Akbar mengingatkan agar kadernya tidak menjadikan orde baru sebagai acuan.
“Yang membuat kita bisa eksis dan survive adalah karena kita beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Ke depan perlu dipikirkan bagaimana sistem partai di Indonesia kompatibel dengan sistem presidensial. Tidak perlu banyak partai, dan mulai sekarang perlu melakukan persiapan untuk pemilu 2019,” katanya.
Ketua panitia seminar John S. Keban mengatakan lambang pohon beringin merupakan pohon yang sejuk untuk berteduh. Seiring dengan perjalanan panjang, daun-daun beringin telah rontok sehingga orang tidak nyaman berteduh. Mereka cenderung berteduh di bawah matahari atau gedung. “Tujuan seminar ini untuk inventarisasi berbagai persoalan sekaligus mencari gagasan untuk strategi baru memperbaiki kinerja dan performance partai Golkar ke depan,” ajaknya.
Pengamat politik UGM Dr. Abdul Gaffar Karim memaparkan di dunia, baru ada dua partai yang mampu bertahan setelah perubahan besar-besaran. Pertama di Meksiko, dan kedua partai Golkar. “Ini karena Golkar tidak bergantung figur maupun kharisma pemimpin,” Beber Gaffar. (Dilansir dari sumber Radar Jogja (20/10/14), Halaman 1)