Stratifikasi gender yang menempatkan laki-laki di atas perempuan memaparkannya pada bahaya kekerasan seksual. Linda Sudiono (Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta) mengungkapkan juga bahwa bahaya ini berakar dari kapitalisme dalam diskusi bertajuk ‘Kampus, Relasi Kekuasaan, dan Kekerasan Seksual’, Selasa (28/11) di Lobby MAP, Fisipol Unit II, Sekip. Ia berpendapat kapitalisme memanfaatkan manusia dan kerjanya sebagai komoditas. Keadaan ini menimbulkan alienasi manusia lain sebagai kompetitor dan objek dalam persaingan.
“Manusia kehilangan kepribadiannya dan akan memperlakukan manusia lain dengan cara yang sama. Bisa jadi, para dosen yang melakukan kekerasan seksual merasa teralienasi, terasing dari dirinya. Rasa frustrasi yang timbul mendorongnya untuk melampiaskannya pada objek yang berada di bawah tanggung jawabnya. Objek yang lebih subordinat, dan itu adalah mahasiswanya,” tutur Linda terkait dengan beberapa kasus pelecehan seksual oleh para dosen.
Menurut Linda, perempuan mengalami ancaman kekerasan seksual hampir di segala sektor kehidupan publik maupun privat. “Misalnya, kita bisa melihat saat suami minta istri melahirkan, berdandan dengan cara tertentu, atau menjaga sikap. Perempuan itu harus, harus, dan harus. Ada relasi kekuasaan di situ. Padahal sejarah membuktikan perempuan dan laki-laki itu setara.” Mengacu pada Engels, Linda mengatakan bahwa di masa primitif, kegiatan produktif dan reproduksi, yang kini disebut pembagian publik dan privat, bisa dilakukan oleh laki-laki dan perempuan secara bersama. Tetapi, dengan modernisasi mode produksi, perempuan kehilangan kuasa di sektor produktif. “Akibatnya, tugas perempuan lebih diasosiasikan dengan ‘dapur, kasur, dan sumur’. Perempuan hanya menjadi milik suami atau ayahnya,” tutur Linda.
Selain itu, kekerasan seksual juga disebabkan oleh imaji-imaji seksual tentang perempuan. “Seperti yang saya amati di media mainstream maupun media sosial, perempuan yang menarik itu digambarkan sebagai perempuan yang penurut. Kepatuhan dianggap sebagai sumber atraksi seksual bagi laki-laki,” kata Linda. Negara juga mengajukan tuntutan kepatuhan misalnya untuk menjaga populasi, sehingga muncullah apa yang disebut dengan politik rahim.
Oleh karena itu, di dalam kampus pun mudah tercipta relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan terkait fungsi reproduksinya. “Kuasa dosen juga menjadi penting di sini karena mereka dapat menentukan hasil proses belajar mahasiswa-mahasiswanya. Penting bagi para mahasiswi untuk memiliki akses ke institusi untuk melaporkan kekerasan seksual yang menimpanya,” tutur Linda.
Nurul Kurniati dari organisasi Rifka Annisa memperkuat bukti bahwa ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan sangat terasa dan berasal dari hegemoni sistem patriarki. Sebagai konsuler hukum di bidang pendampingan, ia menyatakan “Sejak Januari hingga Oktober 2017, ada 243 kasus dan yang paling tinggi adalah kekerasan terhadap istri (KTI) atau lebih dikenal sebagai kekerasan dalam rumah tangga.” Pola yang sama juga tampak pada tahun 2016. Dari 325 kasus kekerasan terhadap perempuan, 216 di antaranya adalah kasus KTI. Kekerasan dalam pacaran (KDP) menempati peringkat kedua dengan 32 kasus.
Nurul menerangkan, dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi di institusi seperti keluarga ataupun universitas, Rifka Annisa tidak hanya memberikan perlindungan dan bantuan hukum maupun konseling kepada korban. “Pelaku juga kami berikan konseling dengan harapan akan ada perubahan sikap di masa depan,” ujar Nurul. Ia menyatakan bahwa dampak pada korban sangat signifikan, misalnya adanya rasa bersalah, sedih, merasa bertanggung jawab atas hal yang menimpa dirinya, menjadi tertutup, dan lain-lain.
Terkait dengan itu, Nurul dan Linda sama-sama mengajak para audiens untuk mendukung pengesahan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional. Salah satunya untuk merealisasikan Konvensi Internasional Menentang Diskriminasi terhadap Perempuan. Di samping itu, Nurul juga menekankan pentingnya memberikan pendidikan seksual kepada anak-anak sejak umur tiga tahun dan lebih lanjut saat mereka menginjak usia pubertas. (/KOP)