Munculnya media online sejak 1994 ternyata memberikan efek pada berubahnya praktik jurnalisme di Indonesia. Jauh sebelum itu, di dunia telah terjadi revolusi digital semenjak diketemukannya internet. Terjadinya revolusi digital ternyata memunculkan media online pada satu sisi, sementara pada sisi yang lain kemunculan media online berdampak pada proses pembuatan sebuah berita. Pun demikian, lebih daripada itu, juga turut ‘memberi warna’ terhadap laku para jurnalis dalam mengabarkan fakta lewat sebuah berita.
Beberapa hal tersebut muncul dalam acara diskusi sekaligus lauching laman digi-journalism.or.id yang bertajuk Jurnalisme Digital: Truth in The Making? pada Kamis (10/9) pagi. Acara yang bertempat di Ruang Bulaksumur, Univeristy Club, UGM ini merupakan hasil kerjasama antara Program S-2 Ilmu Komunikasi, FISIPOL dan Yayasan TIFA Indonesia. Selain dihadiri oleh kalangan akademisi, acara ini juga dihadiri oleh para pegiat media serta mahasiswa yang tertarik pada isu jurnalisme dan media digital.
Sebelumnya, Digi-Journalism merupakan komunitas yang terbentuk dari kerja pemetaan media yang disponsori oleh Open Society, Inggris guna memetakan perkembangan mutakhir media digital di Indonesia. Ternyata kerja tim tersebut berhasil mengidentifikasi sekaligus menggambarkan perubahan digital sekaligus jurnalisme di Indonesia. Didukung temuan tersebut, serta melihat munculnya hibrida baru yakni jurnalisme online, apalagi bersentuhan dengan isu publik maka tim tersebut kemudian bermetaformosis menjadi tim Digi-Journalism.
Tim ini memiliki misi khusus untuk mengembangkan sebuah forum dalam rangka mendiskusikan isu penting menyangkut permasalahan profesionalisme dan etika sejak munculnya jurnalisme online. Pasalnya, semenjak munculnya genre jurnalisme ini ekologi dan persaingan media juga menjadi berubah secara drastis. Hasil diskusi dan riset tersebut nantinya akan dibagikan ke publik lewat situs digi-journalism.or.id.
Kerja tim tersebut kemudian dintegrasikan secara kelembagaan ke dalam Program S-2 Ilmu Komunikasi, FISIPOL dengan disponsori oleh Yayasan TIFA Indonesia. Harapannya, setelah diintegrasikan komunitas ini mampu menjadi pancang akademik dalam menyelenggarakan riset, membuat esai dan tulisan mengenai jurnalisme onlie dan media digital. Lebih dari pada itu, kelak Digi-Journalism mampu menjadi komunitas yang mandiri dan menjadi forum publik.
Sementara itu, pada sesi diskusi tersebut dihadirkan tiga pembicara yakni, Dr. Kuskridho Ambardi (Dosen Ilmu Komuniasi), Imam Wahyudi (Dewan Pers) dan Bambang Muryanto (Jurnalis/AJI) guna membahas isu jurnalisme online dan media digital.
Memulai diskusi, Dr. Kuskridho Ambardi membeber beberapa temuan hasil workshop dan juga penelitian yang telah dilakukan oleh tim Digi-Journalism. Beberapa yang bisa digarisbawahi ialah munculnya definisi tentang truth in the making atau ‘kebenaran yang bisa dicicil’ dalam dunia jurnalisme online.
“Ada semacam kepercayaan bahwa kebenaran bisa dicicil, atau kebenaran yang bertahap dalam praktik jurnalisme online,” ungkap Doktor lulusan Ohio State University ini.
Menurut pendapat Dr. Kuskridho Ambardi, kemunculan laku yang demikian lantaran dikedepankannya nilai kecepatan daripada ketepatan dalam menulis berita. Tepat pada titik itu, truth in the making sedang terjadi karena mereka percaya bahwa kebenaran bisa dicicil lewat berita yang diunggah selanjutnya.
Laku tersebut, menurut Dr. Kuskridho Ambardi berdasarkan pada tiga asumsi. Pertama, bahwa validasi dan verifikasi itu dilakukan walau hanya pada tataran rendah. Kedua, meskipun demikian, dalam berita nanti ada bundling berita sehingga berita dengan isu yang sama dijadikan satu sehingga koherensi bisa nampak di situ. Ketiga, pembaca membaca seluruh berita yang diunggah mengenai isu yang sama.
Senada dengan Dr. Kuskrido Ambardi, Imam Wahyudi lebih banyak memberikan contoh-contoh kasus pelanggaran etis para wartawan media online yang seringkali ditangani oleh Dewan Pers. Selanjutnya, Imam juga mengeluhkan mulai banyaknya media abal-abal akibat mudahnya membuat sebuah portal berita.
“Banyak media itu sekarang nggak niat. Banyak juga media yang kategorinya abal-abal,” kata Imam.
Sementara itu, Bambang Muryanto lebih banyak menyoroti perusahaan media yang tidak mendukung para jurnalis untuk punya kompetensi yang mumpuni lewat berbagai pelatihan dan pembelajaran. Selain itu, banyak juga perusahaan media yang tidak menggaji para jurnalis dengan jumlah yang sepadan.
“Seharusnya pemerintah menindak tegas perusahaan media yang melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan lewat sistem penggajian jurnalis yang tidak sepadan ini,”tuturnya. (D-OPRC)