Kehampaan Hak Masyarakat dalam Konflik Korporasi Lahan Sawit Ungkap 99 Kasus Pengambilan Lahan Tanpa Izin

Yogyakarta, 21 Agustus 2023—Distribusi dan alokasi sumber daya telah lama menjadi konflik pelik di Indonesia. Perseteruan antara korporasi dan masyarakat pemilik lahan merupakan kasus yang paling banyak terjadi. Faktanya, masyarakat seringkali kesulitan mendapatkan haknya karena perbedaan kuasa antara kedua pihak. Isu tersebut pun diangkat oleh tiga peneliti asal Indonesia dan Belanda dalam diskusi “Seminar Konflik Korporasi Lahan Sawit dan Upaya Solusinya” pada Senin (21/8). 

“Kami menemukan terdapat 99 kasus pengambilan lahan tanpa izin dari masyarakat oleh korporasi. Mayoritas kasus disebabkan karena kepemilikan lahan diakui secara adat, jadi mereka tidak memiliki sertifikat tanah. Hal ini membuat banyak korporasi kemudian mengambil alih lahan, khususnya untuk dijadikan lahan sawit,” ucap Prof. Afrizal, Guru Besar Sosiologi Universitas Andalas. Fenomena tersebut kemudian menimbulkan konflik kepentingan lahan, seperti tuntutan kompensasi, dan pertahanan lahan secara adat. 

Penelitian konflik lahan sawit ini melibatkan 19 orang peneliti yang menelusuri kemunculan konflik, kronologi, dan hasil dari 150 konflik di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatera Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan menganalisis sumber-sumber tertulis, dokumen pemerintah, NGO, dan laporan dari masyarakat. Alhasil, peneliti menemukan berbagai faktor munculnya konflik dan resolusi yang belum efektif. Seluruh hasil penelitian dan gagasan tersebut dituangkan dalam buku berjudul “Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia”.

“Salah satu kasus itu kami temukan di Kalimantan, masyarakat Desa Olak-Olak menuntut PT. Sintang Raya untuk mengembalikan lahan mereka. Mereka melakukan demo, kemudian menuntut kompensasi atas lahan. Setelah dibawa ke jalur hukum, pengadilan memutuskan bahwa PT Sintang Raya harus mengembalikan lahan mereka, namun ternyata hingga saat ini yang dikembalikan hanya 5 hektar. Tidak sesuai dengan perintah pengadilan,” terang Afrizal. Ia menyebutkan, bahwa konflik Desa Olak-Olak tersebut merupakan jenis konflik yang banyak terjadi dan tidak terselesaikan.

Prof. Ward Berenschot, Peneliti Senior KITLV Leiden University juga mengungkapkan bahwa terdapat tiga argumen dalam isu ini. “Tanah yang dimiliki masyarakat hanya diakui secara adat, tidak ada sertifikatnya. Jadi bisa dikatakan bahwa di sini terjadi kehampaan hak. Lalu kedua, ketika terjadi konflik masyarakat cenderung fokus mendapatkan kompensasi finansial dibanding memerjuangkan hak-hak mereka secara hukum. Kemudian terakhir, mekanisme resolusi konflik tersebut dinilai tidak efektif karena hak-hak masyarakat pun akhirnya tidak diberikan,” tuturnya.

Konteks kehampaan hak kemudian dijelaskan oleh Prof. Otto Hospes, Guru Besar Wageningen University & Research. “Peraturan negara indonesia mengatur prosedur perizinan secara ketat. Ada kompensasi, bagi hasil dalam praktiknya, serta perlindungan kepentingan warga. Namun dalam praktiknya tidak seperti itu. Banyak pelanggaran yang terjadi,” ungkap Otto. Resolusi konflik yang dilakukan melalui mediasi pun tidak menghasilkan keputusan yang seimbang. Terdapat 166 kasus mediasi, dan hanya 25 yang mencapai kesepakatan. Bahkan setelah itu, terdapat 43 kasus di mana perusahaan tidak mau mengimplementasikan kesepakatan.

Tak hanya soal perseteruan antara masyarakat dengan korporasi, berbagai faktor politik juga sangat berpengaruh. Korporasi biasanya menjalin hubungan internal dengan pemerintah daerah untuk memenuhi kepentingannya. Hal ini menimbulkan kondisi di mana masyarakat semakin tersudut, karena ditekan oleh dua kekuasaan sekaligus. Jika dibiarkan terus menerus, ekonomi masyarakat akan terancam, hingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. 

“Kami menawarkan solusi pembentukan badan mediasi di tingkat provinsi dan kabupaten. Implementasi keputusan mediasi juga harus diawasi agar perusahaan benar-benar memberikan hak masyarakat sesuai kesepakatan. Kemudian kami mengusulkan agar pemerintah melakukan monitoring dan investigasi terhadap perusahaan kelapa sawit dsecara berkala,” kata Afrizal. Melalui langkah ini, masyarakat setidaknya memiliki pihak berkuasa lain yang dapat membantu mereka memperjuangkan hak-hak atas lahan tersebut. (/tsy)