Yogyakarta, 16 Oktober 2023—Serangan Hamas terhadap Israel yang diluncurkan pada Sabtu (7/10) memicu kembali konflik antara Palestina-Israel. Ketegangan politik tersebut sudah muncul sejak tahun 1917 dan telah memakan berjuta-juta korban jiwa. Berbagai upaya perdamaian melalui PBB maupun pihak ketiga lainnya juga belum membuahkan hasil. Kali ini, serial DIHI Talks oleh Departemen Hubungan Internasional, Fisipol UGM, sejalan dengan tujuan perdamaian dunia dalam SGDs 16, mengangkat isu tersebut dalam tajuk “Hamas-Israel 2023: Babak Baru Konflik atau Perdamaian Timur Tengah” pada Jumat (13/10).
“Posisi Hamas ini sebagai yang terjajah. Jadi kalau dia tidak melawan itu justru aneh. Kadang eksistensi itu harus ditunjukkan melalui kekerasan. Apalagi dengan adanya perjanjian Abraham Accords, maka posisi Hamas semakin terdesak. Ini peristiwa kemanusiaan yang luar biasa. Terakhir jumlah korbannya mencapai 3.000-an. Dan bagaimana cara menyelesaikannya ini yang perlu kita cari tahu,” ungkap Dr. Siti Muti’ah Setiawati, MA. Serangan Hamas kali ini dilatarbelakangi sebagai akibat dari tekanan Israel terhadap warga Palestina di jalur Gaza. Hal ini pun menimbulkan serangan balik dari Israel dengan deklarasi perang dan serangan Tel Aviv menyerbu Gaza.
Menurut Siti, persoalan Palestina-Israel ini hampir mirip dengan konflik Indonesia-Belanda di masa lampau. Perlu negosiasi panjang dan peperangan yang tiada henti, hingga Indonesia bisa mencapai kemerdekaan. “Upaya-upaya dari PBB itu sudah dilakukan dalam konflik Palestina-Israel ini. Sebenarnya cukup mirip dengan konflik Indonesia dan Belanda kala itu yang melibatkan PBB. Tapi bahkan konflik tersebut dikatakan sebagai satu-satunya konflik yang berhasil. Karena Indonesia tidak hanya melalui jalur kekerasan, tapi juga negosiasi,” tambah Siti.
Jika melihat profil Israel sebagai otoritas yang menduduki Gaza, ia sangat mengandalkan aspek keamanan. Seluruh langkah dan strategi yang diambil, baik untuk Israel sendiri atau hubungannya dengan negara lain, mayoritas sangat mengedepankan aspek keamanan. Prinsip ini tentunya sangat memengaruhi dinamika hubungan antara Palestina-Israel. Bahkan, Israel juga disebut-sebut sebagai negara dengan teknologi keamanan yang sangat maju. Namun ternyata, serangan Hamas pada Sabtu lalu cukup tidak terduga dan membuat pertahanan Israel goyah.
“Kalau saya lihat, Israel ini adalah negara dengan sekuritisasi yang kuat, dan sangat mengandalkan hal itu. Serangan Hamas terhadap Israel ini bukanlah hal baru. Tapi ternyata, ini juga tidak membuat Israel kebal terhadap serangan dari luar. Dan fenomena ini akan terus berulang, sampai ada pihak-pihak resistensi yang ikut masuk. Mungkin ini bukan ritual 50 tahunan antar Palestina-Israel, tapi kemungkinan besar akan terus berulang. Nah, kebijakan politik Israel inilah yang akan sangat menentukan apakah kali ini ada langkah perdamaian, atau konflik ini akan terus berlanjut,” papar Drs. Muhadi Sugiono, MA.
Baik dari segi Palestina maupun Israel, perlu adanya keterbukaan akan langkah perdamaian. Indonesia sejak dulu selalu berada di sisi Palestina, sesuai dengan konstitusi yang menyebutkan bahwa segala bentuk penjajahan dunia harus dihapuskan. Namun, pilihan kekerasan tidak akan pernah membuka langkah perdamaian tanpa adanya negosiasi. Untuk itu, kontribusi internasional sangat dibutuhkan untuk membantu kedua pihak menemukan perdamaian. Sehingga, konflik yang memakan jutaan nyawa tidak bersalah ini dapat dihentikan. (/tsy)