Semakin berkembangnya lembaga amal seperti Lazismu (Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah), Lazisnu (Lembaga Zakat Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama), Dompet Dhuafa, ataupun Rumah Zakat adalah satu satu indikator bagaimana agama berperan dalam kesejahteraan masyarakat. Dompet Dhuafa misalnya, memberikan kontribusinya dalam menyalurkan beasiswa pendidikan kepada masyarakat kelas menengah ke bawah. Melalui diskusi yang bertajuk “Faith and Welfare in The Changing Global Context”, Dr. M. Falikul Isbah akan menjelaskan realitas ini secara detail. Diskusi yang diselenggarakan oleh Departemen Sosiologi pada Rabu (08/11) ini juga menghadirkan Prof. John Murphy sebagai pembicara.
Falikul memaparkan bahwa keterlibatan agama dalam isu kesejahteraan bukan hanya dalam hal pendidikan. Terdapat lima sektor lainnya yang dijangkau oleh lembaga amal di Indonesia, diantaranya disaster relief or humanitarian outreach, free health service, cash transfer for selected beneficiaries, business startup assistance, dan da’wah outreach. Variasi-variasi inilah yang menunjukkan bahwa lembaga amal cukup mendominasi sektor-sektor penting di dalam masyarakat.
Falikul mendeteksi dua konteks yang melatarbelakangi fenomena tersebut. Konteks pertama yaitu berasal dari Islam itu sendiri. “Pemahaman teologis bahwa Islam seharusnya memainkan peran di setiap aspek kehidupan, hal ini juga berkaitan dengan menuju Islam yang Kaffah,” paparnya. Selain itu, wacana Zakat, Infaq, dan Shadaqah (ZIS) sebagai metode untuk distribusi kekayaan juga berperan dalam meningkatkan perkembangan lembaga amal di Indonesia. Hal ini juga ditambah dengan keambiguitas Pancasila sebagai dasar negara. “Pancasila tidak menunjukkan arah sekuler atau Islam, masih abu-abu, hal ini mendorong bentuk negosiasi sejauh mana Islam berperan dalam kehidupan publik di Indonesia” jelas Falikul.
Konteks kedua berasal dari kondisi sosial Indonesia, dimana tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah. Hal tersebut ditandai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan angka kemiskinan mencapai 28 juta jiwa atau 15 persen dari total populasi di Indonesia. Keadaan ini juga diperparah dengan limitasi kapasitas negara dalam menanggulangi permasalahan kemiskinan. Realitas seperti inilah yang mendorong peran lembaga amal dan filantropi Islam dalam melakukan perbuatan baik untuk kepentingan umum.
Jika dalam konteks Indonesia perkembangan konsep amal dan filantropi dominan dibangun oleh persepsi agama, di Australia hal ini dibangun oleh bagaimana masyarakat mempersepsikan orang miskin. Menurut Prof. John, perbedaan dalam kepercayaan dan keselarasaan sosial atau politik keimanan akan membentuk perbedaan inisiatif kesejahteraan pula. Perbedaan tindakan ini dipengaruhi oleh bagaimana mereka memikirkan (thinking) dan melihat (seeing) orang miskin.
Agama Katolik lebih menekankan pada amal, pengampunan, kasih sayang keluhan minoritas, dan pengembangan kesucian pribadi melalui perbuatan baik. Hal ini tergambar sejak berdirinya The society of St. Vincent de Paul pada tahun 1880-an. Kegiatan yang dilakukan adalah mengunjungi orang miskin untuk memberikan kasih sayang dan penghiburan dalam bentuk dana yang dikumpulkan melalui badan amal setempat. Adapun kegiatan ini merupakan wujud membangun kesucian pribadi dengan membantu penderitaan orang miskin.
Sedangkan, bagi Agama Protestan lebih menekankan judgement, mereformasi kejahatan orang miskin untuk membangun masyarakat yang saleh. Hal ini tergambar dari berdirinya Melbourne City Mission pada tahun 1854. Dimana mereka mengunjungi orang-orang sakit dan sekarat dengan membawa iman dan pertobatan. Lain lagi dengan Agama Anglikan yang menekankan pada keadilan sosial, terlebih pada tatanan sosial dalam masyarakat.
Falikul menambahkan bahwa keadaan ini juga mempunyai dampak di dalam masyarakat. Salah satunya, dimanfaatkan sebagai mobilisasi politik, hal ini terlihat dari aksi 212 misalnya. Selain itu, kegiatan amal cenderung didistribusikan hanya untuk golongan tertentu saja (sesama agama misalnya). Tentu, ini berlawanan dengan nilai universal dari amal itu sendiri. (/ran)