KOMPAS.com — Sederhana, kata itulah yang secara spontan dapat mewakili sosok seorang Pratikno. Seorang anak desa yang mementingkan pendidikan dan pemberdayaan sosial sampai akhirnya Jokowi kepincut dan menunjuknya sebagai menteri di kabinetnya.
Pratikno adalah anak desa yang lahir pada 13 Februari 1962 di Desa Dolokgede, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Sejak lulus sekolah dasar, ia melanjutkan ke SMP yang jaraknya puluhan kilometer dari rumah sehingga terpaksa indekos. Kedua orangtuanya yang berprofesi sebagai guru SD mengizinkannya indekos demi satu makna, yakni melanjutkan pendidikan.
Kampung halaman Pratikno dikelilingi hutan jati dan perkebunan tembakau. Jaraknya sekitar 40 kilometer dari Kota Bojonegoro dan baru dialiri listrik pada awal 1990-an.
“Saya kos karena sekolahnya jauh dari kampung saya. Waktu saya itu kan enggak ada teman yang melanjutkan ke SMP, dari 13,” kata Pratikno, saat dijumpai Kompas.com, di Jakarta, Selasa (21/10/2014) lalu.
Pratikno bercerita, ia dan keluarganya selalu hidup dalam kesederhanaan. Semuanya ia nikmati meski akrab dengan kesulitan. Ia melanjutkan SMA di Kota Bojonegoro dan lulus tahun 1980. Setelah itu, Pratikno melanjutkan kuliah di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM.
“Saya kan anak desa, kalau universitas yang kami kenal dan ternama, ya hanya UGM,” ujarnya.
Semasa menjadi mahasiswa di UGM, Pratikno sempat merasa minder karena status sosialnya. Tetapi, berbekal tekad kuat, ia pernah menjadi mahasiswa terbaik di jurusannya saat memasuki semester III. Ia juga bergabung dengan kelompok diskusi dan sering memenangi lomba riset mahasiswa.
Selain itu, pada pertengahan tahun 1980, Pratikno telah mulai mengirimkan tulisan ke beberapa media terkemuka di Pulau Jawa. Honor yang ia dapat digunakan untuk biaya hidup di Yogyakarta.
Pratikno melanjutkan pendidikan master dan doktornya di luar negeri. Ketika kembali ke desanya pada medio 1990-an, ia membentuk sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Ademos Indonesia. Lembaga ini merupakan wadah untuk masyarakat bersama-sama mengembangkan diri, mengadvokasi, serta membentuk kelompok peternak dan mengembangkan teknologi peternakan.
“Selesai saya studi, saya merasa harus membuat masyarakat happy, harus membantu masyarakat, makanya saya dirikan lembaga untuk sinau bareng (belajar bersama),” ucap pria yang sejak 2012 menjabat sebagai Rektor UGM itu.
Dalam bayangannya, ia tak pernah berpikir akan menjadi seorang menteri. Pada awal masa kuliahnya, sempat tebersit mimpi ingin menjadi camat.
“Camat itu sangat dihormati di desa saya, rumah saya dari kantor kecamatan itu jaraknya 18 kilometer,” tuturnya.
Sebagai seorang akademisi, Pratikno mengenal Jokowi cukup dekat. Ia dipercaya menjadi anggota tim sinkronisasi Tim Transisi Jokowi-Jusuf Kalla. Pratikno, bersama Andrinof Chaniago dan Cornelis Lay, adalah orang yang menyatukan semua usulan kelompok kerja Tim Transisi dan menetapkan langkah prioritas pelaksanaannya sebagai masukan kepada Presiden.
Saat ditanya soal tawaran menteri, ia tak pernah memikirkannya sampai akhirnya namanya diumumkan Jokowi sebagai Menteri Sekretaris Negara di Kabinet Kerja pada Minggu (26/10/2014) sore.
“Saya enggak pernah dihubungi Pak Jokowi dan berbicara soal menteri. Ibarat wawancara, itu wawancara sudah lama terjadi,” pungkasnya saat itu. (dilansir dari sumber Kompas Online, http://tinyurl.com/n4tgwjv, Senin, 27 Oktober 2014)