Yogyakarta, 27 Januari 2022─Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fisipol UGM menyelenggarakan Social Development Talks dengan topik “Akun Mahasiswi Cantik: Glorifikasi atau Eksploitasi?” pada Kamis (27/1). Acara berlangsung melalui Zoom Meeting, dengan menghadirkan Maulidya Indah Mega Saputri (Mahasiswi Prodi S1 PSdK) sebagai pembicara utama.
Bahasan tentang eksploitasi perempuan terjadi dalam lingkungan civitas akademika dengan bentuk yang unik dan terselubung. Padahal, kampus seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Bahkan menariknya, bahasan sensitif seperti ini sering tersingkirkan dari discourse pembangunan dan kesejahteraan.
Acara ini mendiskusikan mengenai akun-akun mahasiswi cantik yang mengatasnamakan suatu universitas untuk menampilkan mahasiswinya yang dianggap cantik. Fungsinya adalah untuk me-repost atau mengunggah ulang foto mahasiswi yang secara umum dirasa memiliki pesona fisik yang memikat.
“Kalau kita merefleksikan diri, ini kan sebenarnya produk digitalisasi di mana ada sebuah kekuatan raksasa, ratusan ribu jumlah pengikut, dan sistem eksistensinya seolah-olah menempatkan perempuan seperti barang interior yang berada di etalase, dipajang dan dikonsumsi secara bersama-sama,” kata Maulidya.
Dari akun-akun mahasiswi cantik tersebut, kita bisa melihat bahwa standar dan tuntutan kecantikan yang subjektif itu semakin terbentuk secara tajam. Jika hal ini dilanggengkan, dikhawatirkan akan terjadi hal yang lebih parah, yaitu komodifikasi produk ekonomi dan alat taktik kekuasaan. Artinya, ada bentuk penyamaran atau pelemahan terhadap suatu identitas, yaitu perempuan.
“Ini semua sebenarnya jebakan untuk objektifikasi perempuan. Meskipun pemilik foto mengizinkan dan masyarakat mendukung, tetapi kalau diteruskan maka admin bisa seenaknya sendiri, dia merasa bebas untuk mengunggah karena merasa di-support,” kata Maulidya.
Meskipun hasil penelitian mengungkapkan bahwa eksploitasi bergantung pada konsen, tetapi hal tersebut sudah dipastikan komodifikasi. Sebab, pemilik akun mahasiswi cantik meraup keuntungan dari hasil mengunggah foto-foto mahasiswi yang dianggap cantik.
Dosen PSdK Fisipol UGM, Milda Longgeita Pinem, mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada standar kecantikan yang baku. Namun, perempuan banyak dirugikan dalam hal konstruksi kecantikan.
“Kalau kita lihat dari zaman pre-histori sampai ke era digital ini ada satu kesamaan yang paling jelas terlihat, yaitu perempuan menjadi objek dari masyarakat yang heteroseksis. Itu menjadi kebenaran utama,” katanya. (/Wfr)