Pada tanggal 21 April 2017, Departemen Illmu Hubungan Internasional dan Institute of International Studies (IIS) kedatangan dosen tamu senior dari Malmo University yang memiliki fokus dalam studi perdamaian dan konflik, Dr. Stephen Marr. Kesempatan ini digunakan oleh IIS untuk mengadakan seminar bulanannya dengan topik “Insurgent Consumption and the Politics of Presence in Gaborone, Botswana. Seminar yang diadakan di Ruang Pertemuan Departemen Ilmu Hubungan Internasional, lantai 5 gedung BB ini dihadiri oleh lebih dari 20 orang yang terdiri dari beberapa dosen dan mahasiswa.
Dr. Stephen dengan semangat memulai presentasinya dengan menunjukkan gaya busana masyarakat kota Gaborone yang dianggap sebagai simbol kesuksesan. Perbedaan atas selera atau akses terhadap busana mengawali narasi Dr. Stephen atas sistem masyarakat dan kondisi ekonomi yang sedang terjadi di Gaborone, Botswana. Menariknya sedang tejadi fenomena dimana masyarakat di Afrika melawan atau menantang pemegang kuasa dengan metode konsumsi. Masyarakat membeli tanah agar dapat melakukan klaim ruang untuk orang-orang yang memiliki asal kota yang sama dengan pembeli. Namun kekuasaan ini tidak digambarkan secara jelas, akses atas konsumsi dapat menentukan posisi individu dalam masyarakat.
Pada tahun 1966 Botswana meraih kemerdekaannya dari Pemerintah Kolonial Inggris. Selama kolonisasi Pemerintahan Kolonial tidak melakukan banyak intervensi dalam pembangunan negara Botswana dikarenakan fokus mereka hanya pada hasil pertambangannya, yaitu berlian. Diamonds and Democracy, begitulah kondisi yang dialami Botswana setelah meraih kemerdekaannya. Demokrasi yang stabil serta tingkat korupsi yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dari negara-negara Afrika lainnya. Walaupun Botswana disebut sebagai keajaiban Afrika, tidak semua aspek negara dalam kondisi baik seperti adanya ketidaksetaraan yang sangat ekstrim, dimana 10 % masyarakat di Botswana mengontrol 50 % total kekayaan negara. Pada penjelasan ini narasumber juga menjelaskan terdapat suatu daerah di Gabarone dengan desa miskin yang tidak memiliki pasokan air namun tidak jauh dari desa tersebut terdapat showroom mobil mewah.
Narasumber melanjutkan penjelasannya terkait fenomena perkotaan yang terjadi di Gaborone. “People with empty bellies act like their bellies are full,” ucap Dr.Stephen. Konsumerisme telah menarik wajah baru dalam masyarakat Gaborone sebagai sebuah aspirasi. Dengan adanya pertambahan penduduk miskin, maka menimbulkan permasalahan bagi perencana kota dalam melakukan penempatan penduduk. Masyarakat Gaborone menganggap beberapa barang seperti telepon genggam sebagai penunjuk kelas mereka sehingga mereka dapat dianggap sebagai orang-orang yang pantas untuk tinggal di kota Gaborone dan ikut terkoneksi dengan dunia luar. Begitu pula sebaliknya, apabila orang tersebut memiliki barang-barang yang dianggap “murah” maka ia akan dianggap sebagai orang yang tertinggal. Selain permasalahan pertentangan kelas, terdapat pertentangan ras dikarenakan lokasi kota Gaborone yang berdekatan dengan negara Afrika Selatan, dimana Gaborone akan menjadi sebuah tempat yang hanya dihuni oleh orang-orang kulit hitam sementara orang-orang kaya dan berkulit putih dapat mengklaim posisinya di Afrika Selatan.
Seminar yang sangat menarik ini ditutup dengan adanya beberapa pertanyaan dari dosen-dosen Departemen Hubungan Internasional. Salah satunya ditanyakan oleh Dr.Diah Kusumaningrum yang membandingkan fenomena konsumerisme yang sedang terjadi di Gaborone juga terjadi di banyak daerah desa di Indonesia. Beliau memberikan contoh kejadian tersebut dengan menceritakan pengalamannya ketika mahasiswa yang sedang menjalankan kuliah kerja nyata ditempatkan di sebuah desa yang belum tersedia energi listrik, namun hampir seluruh rumah disana memiliki kulkas sebagai pengganti lemari baju mereka. Selain itu Dr. Diah juga membandingkan perkembangan kota Gaborone dengan perkembangan kota Yogyakarta dimana keduanya berjalan begitu cepat. (ojik)