Jumat, 12 Mei 2017, Asean Studies Center (ASC) Fisipol UGM kembali mengadakan diskusi rutin mingguan. Berbagai tema menarik seputar isu-isu yang sedang menyeruak di negara-negara di Asia khususnya ASEAN telah disajikan setiap minggunya. Pada diskusi kali ini, ASC menggandeng Hadza Min Fadhli Rabbi, S.I.P. untuk saling berbagi informasi mengenai isu geopolitik masyarakat Rohingya. Hadza adalah alumni Departemen Hubungan Internasional yang kini sedang menyelesaikan program Master di Universitas Eskisehir Osmangazi, Turki.
Berlokasi di Gedung BC Ruang 207, diskusi dipantik dengan isu kontestasi wacana dan politik global di Rohingya-Arkan, dengan melihat isu tersebut dari wacana negara-negara seperti Myanmar, ASEAN, Cina, Barat dan Turki. Konflik Rohingya yang termasuk kejahatan genosida ini menuai berbagai respon di kalangan negara-negara tetangga hingga PBB. Secara umum Rohingya merupakan kelompok minoritas islam di Myanmar dan sebagian besar masyarakat Rohingya menetap di Arakan atau kini dikenal sebagai Rakhine. Dengan berbagai etnis yang ada di Myanmar, etnis Rohingya tidak masuk dalam daftar tersebut. Bahkan para aktivis menuding Undang-Undang Kewarganegaraan Burma yang diperkenalkan tahun 1982 dibuat dengan tujuan menghapuskan etnis Rohingya dari Myanmar.
Hadza menyebutkan bahwa Myanmar cenderung menempatkan masyarakat Rohingya sebagai radical other. Hal tersebut menjadikan Rohingya dianggap sebagai orang-orang yang tidak layak dianggap sebagai manusia. Masyarakat Rohingya tidak memiliki hak sipil seperti etnis lain yang ada di Myanmar. Mereka sama sekali tidak memilki hak untuk terlibat apapun dan cenderung untuk didiskriminasikan. Tragedi kemanusiaan yang kembali menelan nyawa masyarakat Rohingya dimulai saat militer melakukan operasi pembersihan di Rakhine sejak 2012, hingga kemudian aksi militer tersebut berubah menjadi bentrok. Mayoritas Rohingya di Myanmar kini tidak memilki kewarganegaraan karean status yang dilekatkan sebagai pendatang ilegal dari Bangladesh.
ASEAN sebagai aktor kedua terdekat pada kasus ini, mereka dalam studi diskursus ingin terlibat dalam menyelesaikan konflik Rohingya. Namun hal tersebut terganjal akibat adanya norma-norma yang sensitif. ASEAN dinilai kurang adanya kehendak dan empati. Negara-negara di Asia Tenggara sebagian besar melihat permasalahan Rohingya dengan sudut pandang ilegalitas, dan bukan dilihat pada perspektif human right. Sebenarnya ASEAN memiliki state center approach dimana negara-negara di Asean diajak untuk duduk bersama untuk memediasi negara-negara yang sedang berkonflik. Akan tetapi dengan adanya norma-norma yang dimiliki setiap negara maka cara tersebut kurang menjamin terciptanya solusi.
“Cina dalam permasalahan Rohingya cenderung pragmatis. Sebagai negara yang memiliki kongsi perusahaan raksasa, Cina melihat permasalahan Rohingya sebagai racun yang menghambat pertumbuhan baik bagi Asean mau Cina”, papar Hadza. Lain halnya dengan wacana yang dikeluarkan oleh negara Barat seperti Amerika, Inggris, Australia yang melihat konflik Rohingya dari norma liberal demokrasi yang mereka miliki. Hal tersebut yang membuat negara-negara barat mencoba untuk membuka kanal-kanal politik dan kebebasan sipil sehingga ada keterlibatan masyarakat. Negara barat berharap etnis Rohingya dan pemerintahan Myanmar sama-sama dapat terlindungi.
Terakhir adalah Turki, dengan melihat hubungan yang baik antara Myanmar dan Turki di masa lalu khususnya ketika Turki sedang melakukan pembangunan, Myanmar menjadi salah satu negara yang membantu. Pemerintahan Turki dengan state center approach sangat berhati-hati dalam membantu penyelesaian konflik sensitif Rohingya. Berbagai bantuan seperti tenda pengungsian dan logistik sudah disalurkan, hingga Turki juga sering menyiarkan konflik Rohingya pada media kerjasama Turki. (/di)