Suhu politik semakin panas, sehingga aktor-aktor politik mulai memanfaatkan acara-acara publik untuk kepentingan politik. Kegiatan rutin Car Free Day (CFD) Jakarta yang awalnya bertujuan memberi kesempatan pada warga Jakarta untuk mendapatkan udara yang lebih bersih, beberapa waktu yang lalu justru dijadikan kegiatan politik. Peristiwa di CFD menjadi bukti bahwa kegiatan publik yang positif rupanya bisa diseret ke ranah politik. Tidak heran apabila sekarang ini beberapa kalangan mencemaskan iklim politik kita. Opini yang muncul di masyarakat kini mengatakan bahwa keterlibatan civil society untuk mempertahankan iklim demokrasi yang sehat menjadi amat diperlukan.
Peran civil society ini dibahas secara tuntas di Kuliah Umum yang berjudul Kontribusi Civil Society dalam Tahun Politik 2018-2019 pada hari Rabu (2/5). Acara ini diselenggarakan oleh Departemen Politik dan Pemerintahan di Ruang Seminar Timur Fisipol UGM. Dekan Fisipol UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto M.Si. membuka acara ini dengan menguraikan pentingnya orang atau sekelompok orang untuk berpartisipasi menjaga perjalanan demokrasi Indonesia. Sebab demokrasi adalah kepentingan bersama. “Kalau tidak ada yang mau mengurus, demokrasi tidak bisa berjalan,” katanya.
Kuliah umum ini menghadirkan Arief Budiman, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia sebagai narasumber yang membahas pentingnya kontribusi masyarakat sipil dalam menjalankan sistem demokrasi di Indonesia. Arief sendiri sudah lama bergabung bersama KPU. Kariernya dimulai dari menjadi anggota KPU Provinsi Jawa Timur selama periode tahun 2004-2012. Setelah sempat menjadi komisioner KPU Pusat tahun 2012-2017, kemudian ia terpilih menjadi ketua KPU untuk periode 2017-2022.
Arief menyampaikan bahwa yang disebut civil society adalah orang per orang dan tidak hanya terbatas pada kelompok atau organisasi yang terlibat dalam pemilu. Karena menurut Arief, setiap orang tidak bisa melepaskan diri dari civil society. Setiap kepala juga tidak bisa melepaskan diri dari peristiwa politik, sehingga keterlibatan setiap orang dalam kegiatan politik negara memiliki posisi penting dalam terwujudnya negara yang demokratis.
Menurut Arief, setidaknya ada tiga peran yang dapat dijalankan civil society dalam negara demokrasi. Pertama, civil society dapat melengkapi peran negara sebagai pelayan publik. Artinya, masyarakat membantu negara menyelenggarakan proses politik yang demokratis. Misalnya dengan membantu penyebaran informasi terkait pemilu. Terlebih dengan adanya teknologi digital, peran ini tentu akan semakin mudah dijalankan.
Peran yang kedua adalah substitusi. Civil society bisa saja mengambil tindakan-tindakan yang belum mampu dilakukan oleh negara. Contohnya adalah dengan membangun komunitas atau organisasi sebagai wadah edukasi pemilu.
Yang ketiga adalah fungsi penyeimbang. Civil society dapat melakukan advokasi, pendampingan, dan bahkan praktik-praktik oposisi untuk menyeimbangkan kekuatan hegemonik negara. Singkatnya, civil society bisa mencegah negara terlalu besar kontrolnya terhadap proses demokrasi sehingga malah membuat ketidakadilan terjadi. “Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) dan kawalpemilu.org adalah contoh organisasi yang bergerak sebagai fungsi penyeimbang,” jelas Arief.
Arief kemudian memberikan contoh fungsi pengawasan yang dilakukan oleh civil society. “Di Sumatera Utara, ada calon gubernur gagal maju gara-gara laporan satu orang yang kemudian terbukti,” papar Arief. Ia menunjukkan bahwa satu orang pun bisa memberi dampak yang signifikan apabila terlibat aktif.
Arief juga memaparkan bahwa setiap KPU ingin membuat kebijakan, selalu melibatkan civil society. Ini juga sebagai dorongan agar civil society mau terlibat dalam kegiatan demokrasi. Ketika beberapa usulan KPU terkait pemilu menjadi perdebatan di antara aktor politik, civil society dapat terlibat untuk memberi kritik, masukan, dan dukungan. Misalnya, terkait aturan yang tidak memperbolehkan seorang mantan narapidana korupsi maju sebagai calon kepala daerah. Hal ini didasarkan pada UU Pemilu dimana disebutkan bahwa orang yang tidak diperbolehkan mendaftar sebagai calon kepala daerah hanyalah mantan narapidana kejahatan seksual dan bandar narkoba saja.
“Tapi korupsi ini kan sama jahatnya dengan kejahatan seksual dan narkoba. Dampaknya juga sangat besar terhadap negara,” jelas Arief. Dalam situasi semacam inilah, menurut Arief, KPU butuh dukungan dari civil society untuk terus melangkah. “Kalau KPU berjalan sendirian, bisa gampang dipatahkan. Kekuatan civil society juga bisa diandalkan untuk mencegah intervensi yang berlebihan dari negara,” lanjutnya.
Lebih jauh, aktivitas organisasi masyarakat sipil dapat menjadi salah satu sumber alternatif calon peserta pemilu. Bahkan partai politik pun kini kerap mengusung calon di luar kader partai. Apalagi dalam pemilihan kepala daerah dibuka kesempatan untuk calon independen. Aturan tersebut dibuat untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat yang tidak ikut partai politik tapi mau berpartisipasi dalam pemilu. “Bagaimana dengan pemilihan nasional? Ada DPD (Dewan Perwakilan Daerah-red). DPD itu calon perseorangan. Tidak menggunakan partai politik,” ujar Arief.
Arief ingin masyarakat lebih aktif lagi mengawasi pemilu dengan membentuk komunitas atau organisasi. Menurutnya, lembaga semacam itu masih bisa dibilang minim jumlahnya. Arief mencontohkan kondisi di Jakarta dimana hanya ada sekitar 16 lembaga yang turut serta dalam proses pemilu. Dari jumlah tersebut, beberapa bahkan dibentuk oleh NGO (Nongoverment Organization) internasional. “Yang tumbuh dari kita sendiri mungkin tidak lebih dari sepuluh. Dari jumlah ini pun yang aktif paling tiga sampai empat,” ujarnya.
Demi menjaga dan memajukan demokrasi di negara ini, Arief berharap masyarakat lebih aktif dan peduli pada peristiwa politik. “Kalau orang-orang baik, orang-orang pintar mau terjun ke dunia politik, maka negara ini akan diurus oleh orang-orang baik pula,” jelas Arief. (/dim)