Munculnya berbagai macam kesepakatan seperti Konvensi Perubahan Iklim (1994) dan Protokol Kyoto (1997) mengubah cara pandang pemerintah baik di tingkat regional hingga tingkat lokal terhadap isu pengelolaan lingkungan dan perubahan iklim. Pada tingkatan global, rezim tata kelola lingkungan tersebut dikenal dengan istilah Global Enviromental Government atau Climate Change Government. Sementara itu, perubahan tata kelola lingkungan itu ternyata secara tidak langsung turut mengubah pola pembangunan terutama bidang industri di dunia sejak Revolusi Industri terjadi. Maka tidak heran bahwa saat ini isu perubahan iklim dan tata kelola lingkungan menjadi isu ‘seksi’ baik bagi aktor negara maupun lembaga lain (NGO) yang bergerak dalam bidang lingkungan.
Pernyataan itu muncul dalam Kuliah Umum yang bertajuk Tata Kelola Lingkungan Global dan REDD+ : Sebuah Pandangan Kritis pada Senin (7/9) pagi. Acara Kuliah Umum tersebut menghadirkan Dr. Abidah Billah Setyowati yang saat ini menjadi Visiting Research Associate Enviromental Change Institute di Oxford University sebagai pemateri. Acara yang diselenggarakan di Ruang Semintar Timur Lt. 2 Fisipol ini merupakan seri kuliah pembuka guna menyambut mahasiswa baru Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional 2015/2016.
Dalam kuliahnya, Dr. Abidah Billah mengatakan bahwa isu mengenai tata kelola lingkungan menjadi penting lantaran pengelolaanya selalu menekankan pada keterkaitan antar berbagai aktor. Pun demikian, beberapa kesepakatan bersama yang sudah dibentuk menjadi landasan utama dalam penanggulangan mengenai masalah lingkungan dan perubahan iklim. Di samping itu, komitmen bersama dalam menanggulangi isu lingkungan dan perubahan iklim tersebut ternyata sangat berpengaruh terhadap persoalan pembangunan (industri) di semua negara.
Selanjutnya, selain menyingung pentingnya mempelajari isu tersebut, Dr. Abidah Billah juga menyinggung mengenai program REDD+ di Indonesia. Menurut beliau, meski REDD+ merupakan bagian dari program tata kelola lingkungan global, di Indonesia program tersebut masih menuai beberapa masalah.
“Selain masalah kewenangan yang tumpang tindih, beberapa kebijakkan terkait REDD+ seringkali justru menimbulkan konflik-konflik kehutanan terutama dengan masyarakat adat. Apalagi, untuk konteks Indonesia undang-undang yang menangani permasalahan tersebut belum cukup kuat,” ujarnya.
Selain membeber permasalahan penerapan REDD+ di Indonesia, Dr. Billah juga menyingung masalah spatial fix yang terjadi ketika harus berhadapan dalam proses pembebasan lahan untuk program tersebut. Akibatnya, dalam kasus kehutanan sering terjadi saling klaim antar lembaga karena tidak adanya peta bersama ketika harus berhadapan dengan proses-proses pembebasan lahan.
Dalam penjelasannya beliau berpendapat bahwa program-progam lingkungan yang dijalankan dan komitmen Indonesia dalam rangka pengurangan emisi gas dinilai paradoksal. Hal itu lantaran saat ini pendapatan negara paling banyak berasal dari sektor industri ekstraktif yang notabene kurang bersahabat dengan pengurangan gas emisi. Belum lagi, pada satu sisi Indonesia masih ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berarti penguatan sektor industri harus ditingkatkan.
Menutup kuliahnya, Dr. Billah menegaskan bahwa saat ini isu lingkungan menjadi penting terutama karena berkaitan dengan tarik menarik antara pembangunan dan pengurangan emisi yang dalam konteks Indonesia menjadi paradoksal. Apalagi, ketika dihubungkan dalam konteks global penyelesaian isu lingkungan seringkali terbentur pada rezim-rezim neoliberalisme yang cenderung menyepelekan bahkan antipati terhadap masalah lingkungan. (D-OPRC)