Pemberian gelar baru di lingkungan keraton adalah suatu hal yang lumra. Tetapi di balik nama atau gelar baru yang disematkan pada seseorang ada konsep tanggung jawab dan fungsi yang harus dijalankan.
Hal tersebut diungkapkan Prof dr Purwo Santoso, Guru Besar Fakultas Ilmu sosial dan Politik (fisipol) UGM menanggapi pemberian nama baru bagi GKR Pembayun.
“Setiap pemberian nama dan gelar baru akan ada peran yang didistribusikan atau komitmen yang janjikan. Tetapi untuk pemberian nama dan gelar kepada GKR Pembayun itu urusan keraton, saya juga asih menunggu penjelasan mengenai hal tersebut,” ujar Ketua Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM ini.
Lebih lanjut dia menyatakan setiap pemberian gelar baru, akan mengakibatkan komitmen lama ditinggalkan, dan komitmen baru dibuat,
Untuk konteks GKR Pembayun, masyarakat saat ini masih dilingkupi pertanyaan mengenai komitmen baru apa yang dibuat pascanama dan gelar baru.
Penerus
Tetapi saat ini semakin terlihat bahwa upaya yang dilakukan Sultan HB X dengan mengubah nama dan gelarnya sendiri, dan juga memberi gelar baru jepada putri tertuanya adalah memberikan kesempatan kepada GKR Pembayun menjadi penerusnya.
“Masyarakat memiliki imajinasi dan ekspektasi tersendiri terhadap apa yang berkembang di dalam keraton. Jika kenyataan yang ada di keraton tidak sesuai dengan ekspektasi mayoritas, institusi keraton sedang dipertaruhkan,” jelasnya.
Menurut Purwo Santoso, apa yang dilakukan Sultan HB X bisa dikatakan sebagai upaya menghilangkan jejak sejara dan membelokkan perjalanan kerajaan Islam Mataram. Salah satu hal tersebut dapat dilihat dari penghilangan gelar “khalifatulloh”.
“Dengan mengambil langkah tersebut Sultan sedang meninggalkan komitmennya menjadi raja pewaris Mataram Islam dan tidak berkomitmen lagi menjadi representasi kerajaan,” tambahnya.
Tidak elok
Keraton juga seharusnya segera memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai rangkaian kejadian yang akhir-akhir ini terjadi, agar masyarakat tidak menafsirkan sendiri yang pada akhirnya menimbulkan beragam persepsi.
Meskipun masyarakat tidak bisa memberikan suara maupun masukan ke institusi keraton, tetapi tidak elok pula masyarakat disuguhi konflik yang terjadi di internal keraton.
“Masyarakat tidak memiliki kewenangan apapun yang terkait urusan keraton. Seharusnya permasalahan ini bisa diselesaikan di internal keraton. Legitimasi keraton dipertaruhkan jika konflik di internal diperlihatkan keluar,” tandasnya. (dilansir dari Tribun Jogja (06/05/15) hal 1)